New Normal Berparadigma Ekonomi, COVID-19 Kian Tak Terkendali
jpnn.com, JAKARTA - Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Choirul Anam menilai narasi pemerintah soal pola hidup dalam kelaziman baru atau new normal justru membuat ruwet penanganan coronavirus disease 2019 (COVID-19) di Indonesia.
Menurut Anam, pemerintah membangun narasi new normal saat prasyaratnya belum terpenuhi. Misalnya prasyarat soal penurunan angka korban COVID-19, masyarakat punya ketaatan tinggi dalam menerapkan protokol kesehatan, serta solidaritas sosial yang kuat.
"New normal ditetapkan 1 Jun, di situ awal dari keruwetan yang selama ini kita rasakan akhir-akhir ini," kata Anam dalam konferensi video Komnas HAM bertitel Catatan Kritis Atas Penanganan COVID-19 di Indonesia, Selasa (28/7).
Anam menjelaskan, narasi new normal berparadigma ekonomi. Menurut dia, pemerintah lebih memprioritaskan penyelamatan ekonomi yang terdampak pandemi COVID-19.
Sejak munculnya narasi new normal, sambung Anam, upaya menekan penularan COVID-19 menjadi makin sulit. Kini, jumlah kasus positif COVID-19 di Indonesia sudah melewati 100 ribu.
Selain itu, kata Anam, muncul klaster baru penularan COVID-19 sebagai imbas narasi new normal yang dibangun pemerintah. Alih-alih terjadi penurunan angka kasus baru COVID-19, wabah yang terpicu virus corona jenis baru itu justru kian tak terkendali.
"Kalau dilihat di media ada klaster baru. Dahulu itu klaster rumah ibadah, pasar, kafe, dan sebagainya, sekarang ada klaster tempat bekerja, perkantoran. Kalau kemarin masih pabrik dan akhirnya terkendali karena ada satu kebijakan presisi soal kesehatan, saat ini gara-gara stempelnya, statusnya new normal, itu semua tidak terkendali," ungkap dia.
Lebih lanjut Anam mengatakan, narasi new normal secara nasional membuat daerah bingung bersikap ketika kasus penularan COVID-19 meningkat. Sebab, daerah tidak punya legalitas kuat untuk menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) sebagai cara menekan penularan COVID-19.