Nilai Budaya Simalungun Dalam Perjuangan Tuan Rondahaim
Oleh: Pdt. Juandaha Raya Purba Dasuha - Pendeta GKPS dan Budayawan SimalungunMelecehkan puang, tuhang dan guru berakibat kutukan (sapata) dari dewata (Naibata). Terutama guru dipahami orang Simalungun sebagai perantara nagori tongah (tempat manusia tinggal) dengan nagori atas (tempat kedudukan para dewa) serta nagori toruh (dunia orang mati).
d. Sijolom padan/bulawan
Memegang teguh padan/bulawan (janji/sumpah) dan hasil musyawarah. Bagi orang Simalungun, melanggar sumpah sama dengan mencelakai diri sendiri seperti digambarkan pepatah, “Bijak mosor pinggol asal ulang mosor hata” (lebih baik pindah telinga daripada mengingkari sumpah).
Dalam setiap kesepakatan yang dibuat raja-raja Simalungun dengan Rondahaim, prinsip ini dipegang teguh olehnya.
Dia tidak mau mengingkari padan atau janji yang sudah dibuatnya. Kadang-kadang kesepakatan yang sudah dibuat ternyata memposisikan dirinya dalam kondisi terjepit di antara dua pihak yang sebetulnya harus dihormatinya, seperti nyata dalam kesepakatannya dengan raja Panei, mertuanya, yang berperang dengan Tuan Nagaraja yang masih berstatus tondong raja Raya dari garis leluhur Sipinangsori raja Raya pertama.
Pada kondisi ini, Tuan Rondahaim harus bisa menempatkan dirinya dengan sangat hati-hati dan bijaksana tanpa melukai perasaan kedua belah pihak yang masing-masing adalah tondong Raya.
e. Dogil, mangkaporluhon na tang siporlunan
Memelihara harga diri secara wajar dan suka bekerja keras, berpola hidup sederhana serta memprioritaskan kebutuhan rakyat yang paling utama.