Noerdin
Oleh: Dhimam Abror DjuraidEmpat elite politik itu mempunyai logistik ekonomi yang kuat sebagai modal kontestasi 2014 mendatang. Politik Indonesia masih tetap diwarnai dengan ‘’high cost politics’’ politik biaya tinggi, karena selama ini parpol dianggap sebagai institusi politik yang tidak menyambung dengan aspirasi rakyat.
Parpol hanya mendekat kepada rakyat lima tahun sekali. Karena pendekatan yang pragmatis ini maka praktik ‘’vote buying’’ dan ‘’money politics’’ menjadi praktik yang dianggap lumrah.
Politik biaya tinggi ini sangat rentan terhadap praktik korupsi dalam bentuk penyalahgunaan kekuasaan untuk mengumpulkan modal politik. Kasus keluarga Noerdin menjadi indikasi bahwa ongkos politik yang mahal membuat elite politik melakukan korupsi anggaran untuk menutupinya.
Definisi korupsi selama ini terasa terlalu sempit. Mereka yang melakukan korupsi anggaran saja yang dianggap sebagai koruptor. Mereka yang melakukan abuse of power dan terlibat dalam conflict of interest, tidak dianggap sebagai pelaku korupsi.
Elite politik yang terlibat dalam berbagai korporasi besar, elite politik yang diduga melakukan pelanggaran pajak, tidak termasuk dalam definisi korupsi. Kalau mereka tertangkap tangan menerima suap baru disebut koruptor.
Kata Cak Lontong, pelaku korupsi yang sudah tertangkap baru disebut koruptor. Sedangkan pelaku korupsi yang belum tertangkap tetap disebut sebagai bupati, wali kota, gubernur, anggota DPR, menteri…(*)
Jangan Sampai Ketinggalan Video Pilihan Redaksi ini: