Oh, I See
Oleh Dhimam Abror DjuraidKetimpangan kekuatan di PBB ini tidak adil, tetapi sampai sekarang masih terus berlangsung. Negara-negara anggota tetap Dewan Keamanan PBB bertindak seperti pemegang saham utama PBB yang mengendalikan organisasi itu untuk kepentingan geopolitiknya.
Indonesia pada zaman Bung Karno pernah dibuat sangat masygul dengan pengakuan terhadap Malaysia sebagai anggota PBB, sekaligus anggota tidak tetap Dewan Keamanan. Keputusan itu menghina dan mempermalukan Indonesia karena Malaysia dianggap sebagai negara boneka bentukan Inggris.
Indonesia pun keluar dari PBB pada 1965. Setelah Bung Karno jatuh, Pak Harto segera memulihkan keanggotaan Indonesia di PBB.
PBB yang berdiri pada 1945 di San Francisco, Amerika Serikat, membagi-bagi pampasan perang kepada para anggota koalisi yang menang pada Perang Dunia Kedua. Dengan memegang hak veto pada Dewan Keamanan, Amerika dan sekutunya praktis mengendalikan PBB.
Rusia dan China yang seharusnya menjadi kekuatan alternatif ternyata belum bisa mengimbangi maneuver-manuver Amerika dan Inggris yang didukung Prancis.
Pembagian wilayah kekuasaan ini jelas tidak adil dan tidak relevan, karena sudah berlangsung 75 tahun dan tidak pernah berubah. Tatanan dunia baru sudah berubah, tetapi PBB masih tetap ditata dengan tatanan sisa Perang Dunia 1945.
Prof. Kishore Mahbubani, ahli geopolitik dari Singapura, mengkritik tatanan kuno itu, dan mengusulkan tata dunia baru yang lebih relevan dengan kondisi saat ini.
Mahbubani dalam bukunya, ‘The Great Convergence: Asia, The West, and the Logic of One World’ (2013), mengatakan, Amerika dan konco-konconya harus rela melepas sebagian kekuasaannya dan memberikannya kepada negara-negara Asia yang oleh Mahbubani disebut akan menjadi masa depan dunia.