Ondeeeh...Aturan KPU Justru Rentan Catatkan Rekor Golput di Sumbar
Karakter Pemilih Masih Subjektifjpnn.com - PADANG - Komisi Pemilihan Umum (KPU) Sumatera Barat diminta lebih aktif mempromosikan pemilu agar sukses meraih partisipasi pemilih yang tinggi. Pembatasan sosialisasi dan kampanye buat pasangan calon, justru menjadi tantangan tersendiri buat KPU, agar Pilkada benar-benar bisa menjadi pesta demokrasi.
Dengan dibatasinya pasangan calon untuk bersosialisasi, diprediksi membuat tingginya angka golongan putih (golput) di Sumatera Barat. Menurut sejumlah pengamat politik, jika tak ada upaya khusus untuk menyikapi ini, maka partisipasi pemiih pada pilkada serentak hanya diangka 60 persen saja.
Artinya angka golput akan mencapai 40 persen. Jika ini terjadi, maka angka golput pada pilkada serentak mendatang akan menjadi rekor tertinggi selama beberapa tahun perhelatan politik yang berlangsung di Sumbar.
Menurut Pengamat Politik Universitas Andalas (Unand) Asrinaldi mengatakan, berkaca pada dua Pilkada sebelumnya, yakni Pilgub 2005 yang partisipasinya hanya 64,3 persen, dan Pilgub 2010 malah turun jadi 63,62 persen. Bahkan, di tahun ini dengan mekanisme yang yang ada saat ini, akan mengancam lebih rendahnya angka partisipasi pemilih. "Ini harus disikapi semua pihak. Terutama bagi pasangan calon, Pilkada sekarang kan, soal sosialiasi tidak semasif dulu, dan di media massa pun juga dibatasi. Ancaman Golputnya memang besar kalau begini," tukas Asrinaldi saat dihubungi (8/9).
Seharusnta, kata Pak Al (panggilannya), keterlibatan media harusnya kuat, tapi aturan seolah membatasi hal tersebut. Menurutnya, aturan itu perlu di evaluasi, demi mendorong partisipasi pemilih. "Aturan itu, niatnya baik tapi kurang berkeadilan. Padahal masyarakat itu berhak mendapatkan informasi yang banyak soal calon yang akan mereka pilih," jelasnya.
Dikatakannya, kurangnya sosialiasi menyebabkan golput tinggi, terlebih sosialisasi tersebut akan dijadikan rujukan dan berdampak pada pengetahuan masyarakat. Karena, karakter pemilih di Sumbar terang dia, masih mengadopsi budaya subjektif. Ketertarikan untuk datang ke TPS, lebih melihat sosok, figur, kedekatan emosional. Jika karakter tersebut dihadapkan dengan minimnya sosialisasi, maka akan lebih menurunkan partisipasi.
Senada, Pengamat Politik dan Hukum IAIN Imam Bonjol Padang, Muhammad Taufiq menilai pelaksanaan pilkada serentak yang bakal dihelat KPU pada 9 Desember nanti, gaungnya kurang terasa. “Sejauh ini kita sering mendengar bahwa KPU mengaku sudah melakukan berbagai cara atau sosialisasi agar bisa pilkada serentak nanti banyak pemilihnya. Namun di satu sisi kita lupa alat untuk mengukur sudah sejauh mana sosiaslisasi itu dilakukan KPU tidak ada sama sekali,” ungkapnya.
Menurut M Taufik, penjelasan KPU bahwa sudah dilakukan sosialisasi pilkada itu semata-mata hanya menurut kaca mata KPU saja. Artinya, tolak ukur yang dibuat KPU untuk sosialisasi itu adalah sisi kuantitasnya saja. Sedangkan dari sisi kualitasnya belum jelas terukur. Sementara dana yang dianggarakan pemerintah untuk tahapan sosialisasi pilkada kepada KPU cukup besar, setidaknya mencapai Rp30 hingga Rp35 miliar lebih. "Artinya, sejauh mana output yang dihasilkan dari sosialisasi yang dilakukan itu belum begitu terlihat jelas. Pasalnya selama ini tidak ada lembaga yang bisa mengukur atau mengaudit sudah sejauh mana kualitas sosialisasi pilkada itu, kecuali KPU sendiri," tandasnya.