Otto Hasibuan Ungkap Sejumlah Masalah UU Kepailitan dan PKPU
Dia menyebut pihak yang berhak mengajukan kepailitan dan PKPU ini perlu dikaji ulang.
“Apakah kewenangan ini cukup diberikan hanya kepada debitur saja atau tetap dipertahankan. Ini menjadi persolan yang jadi tren akhir-akhir ini,” katanya.
Persoalan lainnya, UU tersebut telah mengubah paradigma UU sebelumnya. Sebelum ada UU Kepailitan dan PKPU, orang berpikir bahwa pailit itu benar-benar tidak mempunyai sesuatu apapun, termasuk aset untuk membayar.
“Anggapan umum kalau orang punya aset banyak walaupun dia punya utang, katakan asetnya Rp 100 miliar, tetapi utangnya Rp 100 juta, orang tidak berpikir orang itu pailit karena asetnya masih banyak,” katanya.
Setelah ada UU Kepailitan dan PKPU, paradigma itu runtuh karena ketentuannya kalau ada dua utang jatuh tempo yang bisa ditagih tetapi tidak dibayar, maka perusahaan yang ditagih itu cukup memenuhi syarat untuk dinyatakan pailit.
“Akhirnya orang berpikir meskipun orang itu punya asetnya Rp 1 triliun, tetapi utangnya misal Rp10 miliar tidak dibayar, tetap saja pailit. Terjadi pergeseran bagaimana seseorang dinyatakan pailit atau tidak,” ujarnya.
Sehingga, tidak ada ambang batas jumlah utang dengan aset yang dimiliki suatu perusahaan atau seseorang untuk dapat dinyatakan pailit karena hanya dibuktikan dengan dua utang yang sudah jatuh tempo dan dapat ditagih tetapi tidak dibayar.
“Ini menjadi suatu persoalan, mau ke mana kondisi seperti itu, apakah masih layak definisi utang seperti itu, atau apakah harus ada treshold yang harus kita pakai ukurannya,” kata Otto.