Owi/Butet Selalu Kena 'Kutukan' Istora, Hendra Menyesal Sedikit karena...
Maksudnya, karena didukung teriakan aaaa…eaaa… oleh 15 ribu penonton, mereka kerap lepas kontrol.
”Penginnya gebuk terus,” ucap Owi. Atau kalau istilah pelatih mereka, Richard Mainaky, gedebak-gedebuk tanpa hasil. Akhirnya, permainan jadi monoton, gampang dibaca lawan, dan habis sendiri.
Owi jelas lebih penasaran ketimbang Butet terkait dengan ”kutukan” di Istora itu. Sebab, Butet setidaknya pernah merasakan gelar di gelanggang yang sudah uzur tersebut. Pada 2005, penghuni pelatnas sejak 2002 itu menjadi juara ganda campuran bersama Nova Widianto. Tiga tahun berselang, dia menjadi kampiun ganda putri bareng Vita Marissa.
”Saya, Butet, dan Kak Icad (pelatih ganda campuran pelatnas Richard Mainaky, Red) terus berkomunikasi buat menemukan solusi kenapa kok nggak bisa juara di Istora,” tutur Owi, yang berasal dari Kebumen, Jawa Tengah.
Owi maupun Butet berharap kesialan di Istora tersebut bisa diakhiri tahun ini. Begitu juga dengan ”lubang” lain: merebut emas di multievent. Sebab, mereka juga selalu tersandung pada babak-babak akhir.
Pada Olimpiade 2012 London, misalnya, Owi/Butet maju ke semifinal. Namun, mereka menyerah lewat rubber game dengan hasil 23-21, 18-21, dan 13-21 terhadap Xu Chen/Ma Jin. Dalam perebutan perunggu, Owi/Butet lagi-lagi kalah oleh pasangan Denmark Joachim Fischer Nielsen/Christinna Pedersen dengan hasil 12-21 dan 12-21.
Dalam Asian Games XVII/2014 di Incheon, Korea Selatan, Owi/Butet malah sudah menembus final. Sayang, di laga puncak, mereka disikat momok yang selalu mengalahkan mereka dua tahun belakangan, Zhang Nan/Zhao Yunlei.
Dengan usia Butet yang sudah kepala tiga, waktu yang tersisa bagi mereka tak banyak lagi. Sebab, tak semua pemain seperti padi: makin tua makin berisi. Kebanyakan, kian bertambah usia, kian melorot pula prestasi.