Pabrik Rokok Terancam Gulung Tikar, Petani Tembakau Tuntut Stabilitas Kebijakan
“Saya berharap, pemerintah dapat menciptakan aturan yang melindungi pelaku IHT serta mengakomodir kebutuhan pasar yang heterogen ini. Kita punya banyak sekali mitra usaha kecil dan menengah yang sangat bergantung pada kestabilan peraturan. Adanya wacana-wacana perubahan kebijakan agar tidak dilanjutkan karena akan menyulitkan perusahaan untuk membangun strategi, khususnya di masa penurunan ekonomi yang terjadi sebagai dampak wabah COVID-19 ini,” tambah Djoko.
Terkait eksistensi komoditas tembakau, Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI), Agus Parmuji menyatakan, perlindungan akan komoditas tembakau nasional harus terus diperhatikan. Jika semakin banyak pabrik rokok khususnya golongan kecil dan menengah gulung tikar, maka serapan terhadap komoditas tembakau juga semakin berkurang. “Bagaimana dengan nasib komoditas tembakau dalam negeri serta kelangsungan petani-petani tembakau. Dibutuhkan aturan yang jelas dan tidak berubah-ubah agar tidak mengancam usaha skala kecil-menengah dan tentunya para petani tembakau,” tutur Agus.
Keragaman pabrik hasil tembakau di Indonesia diakui dan dirangkum jelas di dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) mengenai tarif cukai hasil tembakau. Dalam aturan ini, disebutkan pengkategorian pabrikan tembakau di Indonesia berdasarkan jenis rokok, yaitu SKM (Sigaret Kretek Mesin), SPM (Sigaret Putih Mesin), dan SKT (Sigaret Kretek Tangan), kelas pabrikan berdasarkan jumlah produksi setiap tahunnya, serta Harga Jual Eceran (HJE) dari produk rokok yang dihasilkan.
Dari aturan tersebut tergambar jelas bahwa di Indonesia terdapat jenis pabrikan yang berbeda-beda tergantung kapasitas produksi mereka. Atas dasar itu pula, Pemerintah menetapkan tarif cukai yang berbeda. Oleh karenanya, Agus menekankan, pentingnya untuk memastikan bahwa pembagian kategori itu tetap sebagaimana mestinya agar mampu menjaga eksistensi komoditas tembakau nasional. Terlebih, hal ini menyangkut sumber mata pencaharian sekitar tiga juta petani dan menghidupkan sekitar 245.371 ribu hektar lahan.
“Demi melindungi para petani tembakau yang sangat bergantung pada kelangsungan bisnis industri rokok di Indonesia, pemerintah perlu menyusun kebijakan yang stabil terhadap IHT di masa depan tanpa perlu terus mengubah yang sudah ada,” tutupnya.
Dapat dikatakan beban pelaku IHT di Indonesia saat ini kian bertambah. Setelah menghadapi kenaikan drastis HJE dan CHT di awal tahun 2020, memasuki kuartal kedua ekonomi Indonesia diuji oleh penyebaran wabah COVID-19 yang memukul banyak industri di tanah air termasuk IHT. Produktivitas pabrikan di beberapa kota sentra tembakau yang menurun, serta berkurangnya daya beli masyarakat di tengah situasi ini tentu mengguncang banyak pabrikan khususnya pabrikan kecil dan menengah. Apalagi dampak ini diprediksi baru dapat pulih bertahap pada tahun 2021. Karenanya, demi kelangsungan jangka panjang industri yang heterogen ini, serta mereka yang dinaungi di dalamnya, pelaku IHT sangat berharap agar pemerintah dapat menjaga aturan yang saat ini telah berlaku imbang bagi seluruh pihak, tanpa menerapkan perubahan yang membuat kondisi semakin tidak menentu. (dil/jpnn)