Pak Bill dan Jokowi
Oleh: Dhimam Abror DjuraidPak Bill kemudian menjelaskan perjalanan demokrasi di Indonesia sejak era kemerdekaan sampai dengan pelaksanaan demokrasi liberal di bawah kepemimpinan Soekarno.
Pemilu pertama 1955 menghasilkan demokrasi liberal yang dinamis, sebelum kemudian dihentikan oleh Soekarno melalui dekrit 1959.
Soekarno kemudian memperkenalkan konsep demokrasi terpimpin, yang dalam praktiknya adalah demokrasi otoritarian. Jenderal Soeharto merebut kekuasaan politik dari Soekarno dan memerintah secara otoriter selama 32 tahun.
Soeharto mengundurkan diri karena krisis ekonomi dan tekanan demonstrasi mahasiswa yang menuntut reformasi pada 1998. Sepeninggalan Soeharto, Indonesia menghidupkan kembali demokrasi sebagaimana pengalaman 1955.
Namun, kata Pak Bill, demokrasi Indonesia sekarang sedang dibongkar dan mengalami kemunduran, dan malah sudah bergerak menuju otoritarianisme. Kemerosotan itu, terlihat dari beberapa faktor, yaitu kejujuran dalam pemilu (electoral integrity), kebebasan sipil (civil liberties), kontrol terhadap kekuasaan eksekutif, lemahnya oposisi di parlemen, partisipasi publik yang turun, pelaksanaan hukum yang tidak independen, dan keterlibatan militer dalam politik.
Kemerosotan pada tujuh komponen demokrasi itulah yang dilihat oleh Pak Bill sebagai indikasi merosotnya demokrasi di Indonesia.
Pak Bill mengatakan bahwa komitmen masyarakat Indonesia terhadap demokrasi masih tetap sangat kuat, meskipun dalam kondisi sulit karena pandemi seperti sekarang ini. Publik Indonesia tetap menginginkan pemerintahan yang demokratis, dan menolak ‘’pemimpin kuat’’ yang tidak demokratis.
Pak Bill menyoroti terjadinya iregularitas dalam pelaksanaan pemilu 2019 yang digabung antara pemilihan presiden dan pemilihan legislatif. Karena beratnya beban kerja, banyak petugas yang meninggal dunia. Karena itu banyak yang mengusulkan agar pelaksanaannya dipisah.