Pakar Sebut Restorative Justice Tak Boleh Menghilangkan Pidana
Jadi, menurut Fickar restorative justice dalam kasus tersebut untuk perbuatannya ke depan, yaitu sebagai pembelajaran agar tak melakukan penyiksaan terhadap hewan.
"Tetapi tidak berpengaruh pada perbuatan pidana yang dilakukan, karena tidak mengembalikan penderitaan sang kucing," kata Fickar.
Sementara pakar Hukum Pidana Universitas Gadjah Mada (UGM), Muhammad Fatahillah Akbar mengatakan bahwa restorative justice di Kejaksaan Agung dilakukan sebelum pelimpahan perkara ke persidangan.
"Sebenarnya aturan restorative justice di kejaksaan, yakni Perjag Nomor 15 Tahun 2020 adalah sebelum pelimpahan perkara di persidangan," ujar Akbar kepawa wartawan.
Selain itu, menurutnya kasus tersebut juga telah dianggap memenuhi rumusan delik oleh penuntut umum. "Maka solusinya hanya menunggu pembuktian di persidangan dan keputusan hakim dalam kasus tersebut," ucap Akbar.
Diketahui, terungkapnya kasus ini bermula dari beredarnya rekaman CCTV yang menangkap detik-detik pelaku memukul seekor kucing, 5 Februari 2020.
Melalui video yang viral di media sosial itu, awalnya pelaku datang menghampiri kucing yang tengah berada di pinggir jalan lingkungan perumahan. Pelaku lantas mengambil gagang sapu dan memukulnya sekali.
Pemilik kucing pun melihat rekaman CCTV lalu menyebarkan video pemukulan kucing itu pada 13 Februari 2020. Begitu viral, Animal Defenders Indonesia (ADI) merespons dengan melaporkan kejadian tersebut ke polisi. Ketua ADI Doni Hendaru Tona mengatakan kucing tersebut tewas akibat dipukul di bagian kepala.