Pasal Penghinaan Hidup Lagi, Presiden Jadi Kayak Penjajah
jpnn.com, JAKARTA - Polemik pasal 238 dan 239 ayat 2 Rancangan KUHP soal penghinaan presiden semakin meluas. Penolakan kencang disuarakan mereka yang rajing mengkritik presiden secara keras.
Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah adalah salah satu yang tidak sepakat pasal penghinaan presiden masuk KUHP. Menurut Fahri, pasal penghinaan presiden sebetulnya adalah peninggalan Belanda.
Pasal itu ditujukan untuk penghinaan kepada pemimpin-pemimpin kolonial, ratu Belanda, gubernur jenderal dan lain-lain. Fahri menambahkan, pasal ini memang digunakan bukan di Belanda, tapi di negara-negara jajahan.
"Jadi kalau pasal ini hidup itu sama dengan presiden itu menganggap dirinya penjajah dan rakyat itu yang dijajah," kata Fahri di gedung DPR, Jakarta, Rabu (7/2).
Dia menambahkan, ini tentu adalah sebuah kemunduran yang luar biasa. Karena itu, pasal penghinaan presiden harus dihentikan. Fahri berharap Presiden Joko Widodo (Jokowi) juga memahami persoalan ini.
"Karena ini memutar balikkan jarum jam peradaban demokrasi kita jauh ke belakang. Mudah-murahan Pak Jokowi paham bahwa ini kesalahan yang fatal," katanya.
Ketua DPR Bambang Soesatyo mengatakan pasal tersebut masih menjadi pembahasan di Panja RUU KUHP. Dia berharap dalam waktu yang tidak terlalu lama bisa dicapai rumusan yang baik yang disepakati antara pemerintah dan DPR.
"Tanpa mengesampingkan kepentingan rakyat, bangsa dan negara," kata Bambang, Rabu (7/2). (boy/jpnn)