Pelanggaran UU Kehutanan Hanya Bisa Diberi Sanksi Administratif
jpnn.com, JAKARTA - Pakar hukum administrasi negara Profesor I Gde Pantja Astawa menilai pelanggaran Undang-Undang (UU) Kehutanan tidak bisa serta merta dikategorikan tindak pidana korupsi.
Menurut dia, penyelesaian keterlanjuran membangun perkebunan kelapa sawit dalam kawasan hutan tidak bisa menggunakan UU Tipikor, tetapi harus menggunakan UU Cipta Kerja dan turunannya.
"Adanya UUCK dibuat untuk menyederhakan 79 UU yang saling berbenturan. Sehingga memudahkan perizinan serta menghilangkan kerisauan pengusaha untuk berusaha di Indonesia," kata Pantja di Pengadilan Tipikor Jakarta, Jumat (3/2).
Menurut Pantja, adanya pelanggaran UU Kehutanan yang dituduhkan kepada Duta Palma akibat terjadi tumpang tindih aturan ketentuan Kehutanan dengan Tata Ruang Wilayah yang diatur dalam Peraturan Daerah. Akibatnya pengurusan izinnya menjadi terhalang sejak tahun 2012.
"Karena terjadi tumpang tindih kebijakan daerah dan pusat lahirlah Undang-Undang Cipta Kerja. UU Cipta Kerja ini menyatakan tidak ada sanksi pidana, hanya merupakan sanksi administrative,” katanya.
Menurut Pantja, keputusan pejabat tata usaha negara yang memberikan izin lokasi untuk penyediaan lahan perkebunan tetap berlaku. Sebab tidak ada pencabutan ataupun perbaikan, dan bukan termasuk perbuatan pidana. Keputusan kepala daerah sifatnya kongkrit dan mengikat karena bersumber dari Perda RTRW Provinsi.
"Tidak semua tindakan adalah tindakan pidana, tidak bisa serta merta dikategorikan melanggar pasal tindak pidana korupsi sebagaimana bunyi Pasal 14 UU Tipikor," tegas Pantja.
Pantja menjelaskan dalam UU Cipta Kerja ini menyatakan tidak ada sanksi pidana, hanya merupakan sanksi administratif. Karena apa, setiap perizinan yang sudah terlanjur memasuki kawasan hutan diberi waktu tiga tahun untuk membenahi memenuhi syarat-syarat agar mempunyai hak atas tanah HGU.