Pembentukan Holding BUMN Bisa Munculkan Masalah Baru?
jpnn.com, JAKARTA - Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini Soemarno menetapkan enam induk usaha (holding) BUMN akan terbentuk dalam dua tahun terakhir pemerintahan Joko Widodo (Jokowi).
Tahun ini, dua yang siap beroperasi adalah holding BUMN minyak dan gas bumi, serta holding BUMN tambang.
Sementara pada 2018, Rini akan melebur sejumlah perusahaan pelat merah pada sektor usaha yang sama menjadi holding BUMN perbankan, konstruksi, jalan tol, dan terakhir holding BUMN perumahan.
Hanya saja, rencana pemerintah mengelompokkan sejumlah BUMN di sektor bisnis yang sama ke dalam satu induk perusahaan menimbulkan tanda tanya besar bagi Wakil Dekan Bidang Keuangan, Aset dan Sumber Daya Manusia, Fakultas Ekonomika & Bisnis Universitas Gadjah Mada (UGM) Kusdhianto Setiawan.
“Bagi Kementerian BUMN, bentuk ideal pengelolaan BUMN itu adalah melalui super holding. Padahal kebijakan ini akan merugikan swasta karena menciptakan level of playing field yang tidak sama dengan swasta,” ujar Kusdhianto saat dikonfirmasi, Minggu (22/10).
Kusdhianto menilai, cara tersebut tidak selamanya manjur dalam memperbaiki dan meningkatkan kinerja perusahaan pelat merah. Meski, pemerintahan sebelumnya telah sukses membentuk dua holding BUMN di sektor pupuk yaitu PT Pupuk Indonesia dan holding BUMN PT Semen Indonesia Tbk.
“Holdingisasi berdasarkan sektor atau industri justru bertentangan dengan prinsip diversifikasi bisnis dan tujuan pembentukan holding itu sendiri, yaitu mengarah menjadi investment company bukan hanya induk perusahaan,” jelasnya.
Karena itu, dia mempertanyakan alasan utama pemerintah membentuk enam holding BUMN baru dengan tujuan utama meningkatkan nilai perusahaan sehingga bisa lebih mudah dalam mencari modal untuk ekspansi.