Pemerintah Kurang Tegas Terhadap Harga Rokok, Anak-anak jadi Korbannya
Padahal RPJMN (Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional) menargetkan pada 2019, prevalensi perokok anak harus turun menjadi 5,4%.
Lisda mengatakan, hal ini menunjukkan pemerintah gagal dalam mengendalikan konsumsi rokok. Industri rokok berhasil merekrut perokok baru yaitu anak-anak pada tiap tahunnya.
Lisda menyebutkan, ada dua penyebab tingginya perokok anak yang saling berkaitan erat, yaitu praktik iklan rokok yang sangat leluasa menyasar anak-anak sebagai target pemasaran produknya.
Kemudian harga rokok yang relatif terjangkau di mana memudahkan anak-anak membeli rokok.
“Praktik diskon rokok akan memperburuk upaya-upaya pencegahan perokok anak, karena harga rokok akan semakin murah dan anak-anak semakin mudah menjangkaunya,” terang dia.
Karena itu, Lentera Anak mendesak pemerintah dalam hal ini Dirjen Bea Cukai untuk meninjau kembali aturan yang memungkinkan rokok dijual lebih murah, sebagai bentuk keberpihakan pemerintah terhadap perlindungan anak dan masa depan bangsa.
Sementara itu, Dosen FEB Universitas Indonesia Dr Abdillah Ahsan, mengatakan, dari sudut pengendalian rokok, harga merupakan salah satu unsur paling penting. Semakin mahal semakin baik dan jika sebaliknya, semakin murah, semakin sulit proses pengendaliannya.
“Maka untuk mengembalikan semangat pengendalian konsumsi rokok, aturan yang membolehkan diskon rokok itu perlu direvisi,” tutupnya.
Selain itu, kebijakan diskon rokok dinilainya bertentangan dengan PP 109/2012, khususnya pada Pasal 35 yang menyebutkan pemerintah melakukan pengendalian promosi produk tembakau, di antaranya tidak memberikan secara cuma-cuma, potongan harga, hadiah produk tembakau, atau produk lainnya yang dikaitkan dengan produk tembakau.
Pegiat Forum Warga Kota Jakarta (FAKTA) Tubagus Haryo Karbyanto, menjelaskan, adanya kebijakan diskon rokok bertentangan dengan visi strategis Presiden Joko Widodo yang sejak awal telah menegaskan akan mengutamakan kualitas sumber daya manusia.
Hal itu kembali dipertegas dalam pidoto kenegaraan menyambut HUT ke-74 RI. Pada saat itu, Presiden Joko Widodo menegaskan Indonesia tidak gentar menghadapi persaingan global.
Apalagi Indonesia memiliki visi strategis, yakni Sumber daya manusia (SDM) yang unggul memiliki kreativitas, inovasi dan kecepatan unuk bersaing secara global sehingga mampu melompati bangsa-bangsa lain di dunia.
Visi tersebut, sesuai dengan perkiraan limpahan bonus demografi yang akan Indonesia dapatkan pada 2030.
Di mana pada 2030, angka dependency ratio mencapai titik terendah di 46,9%. Artinya, di tahun tersebut kelompok usia produktif mencapai dua kali lipat dibandingkan yang tidak produktif.
Oleh karena itu, kebijakan diskon rokok bertentangan dengan tujuan negara, Visi Misi Presiden, RPJMN, SDGs, dan filosofi pengendalian tembakau (khususnya pada kebijakan pengenaan cukai rokok).
Kebijakan diskon rokok secara sosiologis juga memperparah kemudahan akses barang adiktif di masyarakat sehingga ancaman bagi bonus demografi Indonesia.
“Makanya perlu segera diambil langkah-langkah hukum untuk mencabut kebijakan diskon rokok, baik itu melalui government review, amandemen, hingga judicial review,” ucap dia.
Sementara Direktur Teknis dan Fasilitas Cukai Direktorat Jenderal Bea Cukai Nirwala Dwi Heryanto, mengatakan Pemerintah berdiri seimbang dalam mengatur rokok.
“Kebijakan cukai menjadi instrumen pengendalian tembakau dimana tarif cukai naik setiap tahun. Tujuan kenaikan cukai sendiri adalah membuat harga rokok tidak terjangkau utamanya untuk anak. Dalam pelaksanaannya, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai memantau harga rokok secara berkala di pasar sesuai dengan ketentuan Peraturan Menteri Keuangan,” ucap dia.
Dia menegaskan terjadi perbedaan pemahaman mengenai istilah yang disebut sebagai diskon rokok. Apa yang disebut sebagai diskon rokok sebenarnya merupakan potongan harga ditingkat penjualan.
"Harga jual eceran (HJE) itu di tingkat retailer, sedangkan pengawasan bea cukai enggak mungkin melakukan pengawasan di retail, makanya kami lakukan itu di perusahaan. Cuma masalahnya, harga dari pabrik kalau sudah 100%, nanti menjadi sama antara HJE dan harga transaksi pasar (HTP). Terus nanti yang mengongkosin distribusi siapa? Itulah yang disebut teman-teman penggiat antitembakau tadi, sebagai diskon," papar dia.
HJE itu merupakan harga patokan bandrol untuk kepentingan fiskal, adapun HTP itu diserahkan pasar.