Pemilu Malaysia: Milenial yang Sia-siakan Potensi
Namun, ada juga kemungkinan lain. Hung parliament misalnya. Jika tidak ada partai atau koalisi partai yang mendapatkan suara mayoritas, bisa jadi lahir pemerintahan koalisi.
Dalam hal ini, jika Pakatan Harapan (koalisi oposisi) atau Barisan Nasional (koalisi pemerintah) tidak berhasil mendapatkan suara mayoritas, si pemenang pemilu harus berkoalisi dengan partai lain.
Jika pemerintahan selanjutnya harus berbentuk koalisi, kuncinya ada di Partai Islam Malaysia (PAS). Dalam GE14, PAS tidak masuk koalisi oposisi maupun pemerintah. Dan, perubahan aturan soal pemetaan konstituensi oleh EC alias SPR malah akan membuat PAS kebanjiran dukungan. Sebab, pemetaan berdasar etnis itu membuat PAS terlihat sebagai pemersatu dalam balutan agama.
’’Islam dulu, baru etnis. Itu semboyan PAS. Itu bisa mendulang suara partai,’’ kata Mohamed Nawab Mohamed Osman, koordinator Malaysia Programme pada S. Rajaratnam School of International Studies, sebagaimana dilansir Channel News Asia kemarin.
Karena itu, menurut dia, PAS pun akan memperoleh kenaikan suara dalam pemilu kali ini. Oposisi dan pemerintah tak boleh mengabaikan fakta tersebut.
Dalam GE14, oposisi menggunakan media sosial sebagai sarana utama kampanye. Mereka memberdayakan Facebook, WhatsApp, dan YouTube untuk menjangkau generasi milenial.
Strategi itu memang jitu untuk menyedot perhatian kaum muda, khususnya generasi milenial. Namun, keriuhan di dunia maya itu tidak diimbangi dengan antusiasme yang sama di dunia nyata.
’’Kaum muda tertarik mengikuti isu politik yang tersaji di media sosial karena marketing-nya sangat bagus. Dan, kaum muda tak bisa menghindari demam pemilu yang sedang ramai di internet,’’ ungkap Voon Zhen Yi, analis riset politik pada Centre for Public Policy Studies.