Penanganan LHK Terjadi Perubahan Signifikan Sejak Era Jokowi
Kedua, memberikan akses kesejahteraan material seperti pertumbuhan ekonomi dan memberikan jaminan peluang untuk produktif. Ketiga adalah memposisikan hak-hak warga negara, serta yang keempat, membangun demokrasi dan mendorong partisipasi.
Dijelaskan Menteri Siti, pemahaman tentang pemerintahan dan fungsi pemerintah sangat penting dalam konteks pengelolaan lingkungan hidup dan kehutanan, karena dalam prakteknya akan terkait sangat erat, dimana aktualisasi implementasi kebijakan kehutanan dan lingkungan sangat nyata dirasakan di tengah-tengah masyarakat. Upaya kebijakan dan implementasi sektor kehutanan dan lingkungan hidup sangat relevan dalam menjawab kerangka konsep kekuasaan pemerintahan bagi rakyat pada semua dimensi fungsi pemerintah.
Saat ini, lingkungan telah pula menjadi subyek politik, bukan sekadar subyek teknis.
“Saya mengikuti terus perkembangan posisi politik ini sejak awal 1900-an. Sejak 1992 tentang earth summit hingga pada tahun 2015 tentang Paris Agreement,” terang Menteri Siti.
Di sinilah tata kelola lingkungan (Environmental Governance) menjadi suatu kebutuhan. Tata kelola lingkungan merupakan rangkuman dari aturan, praktik, kebijakan dan kelembagaan yang membentuk interaksi antara manusia dan lingkungan. Teori, konsep dan prinsip tata kelola lingkungan tersebut telah mendasari langkah-langkah korektif yang dirumuskan dan dijalankan untuk memperbaiki kondisi lingkungan hidup dan melestarikan pengelolaan hutan Indonesia.
Koreksi Jokowi
Menteri LHK menjelaskan pokok-pokok koreksi yang dilaksanakan Pemerintahan Presiden Joko Widodo di bidang kehutanan difokuskan pada upaya penataan ulang alokasi sumber daya hutan dengan: (1) mengedepankan izin akses bagi masyarakat dengan hutan sosial; (2) implementasi secara efektif moratorium penerbitan izin baru di hutan alam primer dan gambut.
(3) tidak membuka lahan gambut baru (land clearing); (4) moratorium izin baru pembangunan perkebunan sawit; (5) melakukan pengawasan pelaksanaan izin dan mencabut HPH/HTI yang tidak aktif; (6) mengendalikan izin secara sangat selektif dengan luasan terbatas untuk izin baru HPH/HTI serta mendorong kerjasama hutan sosial sebagai offtaker; (7) membangun konfigurasi bisnis baru; dan (8) mendorong kemudahan izin untuk kepentingan prasarana/sarana (jalan, bendungan, energi, telekomunikasi, pemukiman masyarakat/pengungsi).