Pendidikan Gagal Menjadikan Indonesia Negara Berdaulat
jpnn.com, JAKARTA - Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (UI) Prof Sri Edi Swasono menilai pendidikan nasional telah gagal menjadikan bangsa ini berdaulat, mandiri, dan melepaskan diri dari keterjajahan. Pendidikan nasional seharusnya mencerdaskan kehidupan bangsa. Tidak sekadar mencerdaskan otak bangsa.
"Kehidupan yang cerdas adalah kehidupan bermartabat, tangguh, digdaya, dan mandraguna. Di sinilah pendidikan nasional gagal membentuk daya saing tangguh bangsa ini dalam percaturan antarbangsa," tutur Prof Sri Edi dalam diskusi Interaktif Buku Ajar Koperasi Indonesia di Universitas Trilogi, Rabu (29/8).
Dia menilai, daya saing bangsa hanya dibangun melalui pendidikan dalam rangka nation and character building, melalui kurikulum rinci dan makan waktu panjang. Padahal investasi SDM (sumber daya manusia) melalui pendidikan nasional sangat penting untuk menghasilkan sumber daya berkompetensi tinggi.
"Yang diperlukan dalam jangka pendek ini bukan daya saing bangsa. Namun, daya tolak untuk menangkal daya saing dari luar yang melumpuhkan dan mendominasi ketahanan nasional Indonesia. Kuncinya adalah kesadaran pemerintah akan keberdaulatan nasional Indonesia," paparnya.
Saat ini, lanjut guru besar luar biasa Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta itu, Indonesia menghadapi ketidakberdaulatan tragis. Indonesia tidak berdaulat dalam pangan, bibit, obat dasar, teknik industri, ekspor impor, energi, teknologi, mesin, tataguna, bahkan dalam legislasi yang serba mengerikan.
Prof Sri Edi menyebutkan, puncak dari kenyataan ini adalah menyerahnya Presiden Soeharto kepada Camdessus pada 1998. Soeharto off guarded, tak seorang pun membelanya, tega membiarkan presiden Indonesia terteror oleh angka-angka teknokratis.
"Lalu apa sebenarnya yang diajarkan di ruang kelas anak-anak, menjadi salah asuhankah para sarjana pendidikan tinggi di Indonesia? Itulah tragedi Indonesia, di sini pendidikan nasional Indonesia gagal mengangkat pernyataan kemerdekaan sebagai suatu pernyataan budaya," pungkasnya. (esy/jpnn)