Pengungsi Myanmar yang Melarikan Diri Pada 1991 Kini Aktif Membantu Komunitas Australia

Tin suka menggunakan produk segar dari kebunnya untuk membuat makanan bagi para tunawisma dan mereka yang kurang beruntung, hingga memenangkan penghargaan 'Senior Citizen Living Treasure' untuk lansia pada Australia Day tahun ini.
Namun terlepas dari banyak prestasi dan cintanya untuk komunitasnya, Tin mengatakan ia dan pengungsi lain masih menghadapi stigma di dalam masyarakat Australia.
Kerap menerima stereotip
Tin merasa bahwa pengungsi terlalu sering dilihat sebagai beban negara, dan ingin menunjukkan seberapa banyaknya warga non-Australia yang dapat berperan dalam komunitas.
"Saya telah mencoba untuk membuktikan bahwa tidak semua pengungsi datang ke sini sebagai orang bodoh," katanya.
Ia bertemu dengan suaminya, Ian Oxenford, di University of New England (UNE) di Armidale, di mana ia menjadi dosen di bidang ekonomi dan pertanian dari tahun 1991-98.
Sepanjang menjalani hubungan bersama Ian, Tin menghadapi stereotip yang meresahkan.
"Ketika Ian dan saya pergi ke suatu tempat, mereka tidak menanyakan [pertanyaan] langsung kepada saya, seolah-olah saya tidak mengerti bahasa Inggris," katanya.
"Ini adalah stereotip bahwa jika seorang pria kulit putih menikahi seorang perempuan Asia atau Afrika, perempuan tersebut dianggap pengantin pesanan."