Penunggang Gajah, Agama, dan Politik
Oleh Dhimam Abror DjuraidArgumentasi yang muncul tidak didasari oleh penalaran untuk mencari kebenaran, tetapi hanya untuk mencari pembenaran bagi pandangan kubu sendiri.
Tak heran sesat pikir logika bertebaran dalam argumentasi semacam itu. Masing-masing kubu tidak mencari kebenaran tetapi mencari pembenaran.
Orang lebih senang mendengarkan argumen yang sesuai dengan pandangannya. Itulah efek echo chamber atau ruang yang menggaung yang diberikan oleh media sosial.
Media sosial sering disebut sebagai penyebab polarisasi. Namun, sebenarnya media sosial hanya menjadi amplifikasi dari polarisasi yang sudah ada di tengah masyarakat.
Apa yang membuat sebagian orang menjadi cebong dan sebagian lain menjadi kampret? Menurut Haidt, hal itu disebabkan tiap orang punya fondasi moral yang berbeda.
Fondasi moral itu adalah intuisi bukan rasio. Tiap orang punya intuisi yang berbeda. Ada yang intuisinya lebih cocok dengan Anies Baswedan, ada yang lebih cocok dengan Ganjar Pranowo, ada yang lebih sreg dengan Prabowo Subianto.
Kelompok ‘kadrun’ mendasarkan standar moralnya kepada agama, sedangkan golongan ‘cebong’ mendasaran standar moralnya kepada liberalisme dan kebebasan individual. Dua hal ini seperti minyak dan air yang tidak bisa dipersatukan.
Moralitas mengikat manusia ke dalam kelompok-kelompok yang dapat bekerja sama secara efektif. Dengan kesamaan nilai moral, manusia lebih mudah saling membantu, lebih mudah mengidentifikasi siapa yang bisa dipercaya, dan dengan demikian lebih layak untuk dimasukkan ke dalam kelompoknya.