Perang Renggut Masa Kecil Ribuan Anak
Situasi yang tak kalah mengenaskan terjadi di Yaman. Cappelaere mengungkapkan, laporan adanya penduduk yang mati di negara tersebut sudah menjadi makanan sehari-hari bagi para relawan. Bulan lalu di antara para korban tewas, 16 orang adalah anak-anak.
Di Benghazi, Libya, anak-anak asyik bermain tanpa mengetahui di dekat mereka ada bom yang gagal meledak. Nahas, bom itu justru menjalankan fungsinya kala anak-anak yang tidak berdosa tersebut berada dekatnya.
Tiga di antaranya akhirnya harus kehilangan nyawa. Tiga lainnya tewas akibat bom bunuh diri. Di Palestina dan Iraq masing-masing ada satu anak yang menjadi korban tewas.
Jumlah korban yang dirilis oleh Unicef itu bisa saja jauh lebih besar di lapangan. Di zona konflik, data yang diterima kerap kali simpang siur. Terutama di Yaman yang jurnalis asing kerap dilarang masuk.
Cappelaere menegaskan bahwa kematian anak-anak di negara konflik itu merepresentasikan pelanggaran hukum internasional. Padahal, seruan agar anak-anak dilindungi selama perang sudah tercantum di Konvensi Jenewa yang disepakati oleh seluruh anggota PBB yang berjumlah 193 negara.
Anak-anak tidak tahu dan tidak bertanggung jawab atas apa yang terjadi dalam sebuah konflik di suatu negara. Tapi, di lain pihak, merekalah yang membayar paling mahal. Hidup mereka harus berakhir di usia yang masih sangat dini.
Menurut Cappelaere, saat ini jutaan anak-anak di Timur Tengah dan Afrika Timur telah dicuri masa kanak-kanaknya. Mereka mengalami trauma, ditangkap, ditahan, dieksploitasi, dilarang pergi ke sekolah, dan tidak bisa mendapatkan layanan kesehatan yang layak. Kebutuhan dasar mereka untuk bisa bermain tanpa rasa takut juga terenggut. (sha/c6/dos)