Perangkat Desa
Oleh: Dahlan IskanSaya lagi tidak membawa uang. Dompet saya di dalam tas istri yang pilih tidur di hotel.
Tentu perangkat desa yang lain angkat bicara. Saya minta mereka naik panggung. "Kalau jadi marketplace apakah untungnya dibagi dengan desa?“ katanya. "Apakah tidak melanggar hukum?" kata satunya. Diskusi pun seru. Diakhiri dengan selfie di panggung.
Pertanyaan terakhir saya: siapa di antara perangkat desa yang pernah menulis satu bulan satu kali? Diam. Tiga bulan sekali? Diam. Setahun sekali? Diam.
Syukurlah saya tidak jadi ceramah cara-cara menulis yang baik. Mengajarkan bagaimana menulis yang baik tidak tepat ditujukan kepada orang yang belum pernah menulis.
Dalam sesi tanya jawab seorang ibu muda unjuk tangan. Cantik sekali. Kelihatan cerdas. Rautnya menunjukkan wajah cendekia. Dia naik panggung. Saya terharu dengan apa yang dia kemukakan, apalagi di wajahnyi tampak seperti mau menangis.
"Perangkat desa itu bebannya sangat berat. Apakah kami masih harus diberi beban tambahan menulis?" katanyi.
Saya peluk pundaknyi. Kata-katanyi menyadarkan saya: "betapa berat bebat perangkat desa," kata saya.
Hampir semua menteri punya program di desa. Hampir semua dinas provinsi punya program di desa. Pun kabupaten. Semua itu, sampai di desa, pelaksananya hanya satu: perangkat desa.