Perdebatan Hangat Malah saat Menyensor Film Religi
Sudiono menceritakan, saat itu ada seorang rekannya yang dihukum wajib ikut apel pagi di polda selama dua bulan penuh lantaran lalai dalam menyensor. BNagian film yang seharusnya disensor lolos tayang. ”Waktu itu pas adegan ranjang,” kenangnya.
Selain itu, dia menceritakan, tidak jarang pihaknya mengundang personel TNI-Polri dan BIN untuk ikut menyensor film. ”Ya, mereka harus nonton,” ucapnya santai.
Biasanya anggota TNI-Polri diundang untuk menyensor film-film yang berbau perang dan politik. Maksudnya, menangkal potensi ancaman keamanan nasional yang dibawa pihak tak bertanggung jawab lewat film.
”Kalau film perang-perangan itu kan juga harus dilihat apakah ada potensi mengancam keamanan nasional atau tidak. Pernah juga waktu Orde Baru (Orba) segala hal yang berbau palu arit langsung dihapus. Tapi, kalau sekarang sepertinya lebih longgar,” ucapnya.
Cerita unik lainnya di balik penyensoran film adalah seringnya muncul perdebatan di antara tenaga sensor tentang scene mana yang harus disensor.
Sudiono mengatakan bahwa tenaga sensor yang berasal dari berbagai kalangan bisa punya pendapat dan tafsir yang berbeda mengenai pantas tidaknya suatu scene dalam film untuk ditonton masyarakat. ”Kalau ada 45 tenaga sensor, ya hasilnya bisa ada 45 pendapat yang berbeda,” tuturnya.
Perdebatan hangat tersebut biasanya sering terjadi saat menyensor film yang bernuansa religi. Jika film nonreligi, tak banyak petugas sensor yang berdebat. Tapi, menyensor film religi tidaklah gampang. Bahkan, LSF mengundang pihak dari kalangan Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU).
”Biasanya mereka memperdebatkan soal pakaian hijab bagi perempuan yang ada di dalam film, kalau Muhammadiyah segini, kalau NU segini,” ujar Sudiono sambil tangannya menunjukkan batasan kain hijab menurut pandangan dari dua ormas besar tersebut.