Perempuan Afghanistan Menanti Jawaban: Taliban Kelompok Kesatria atau Gerombolan Pria Gombal?
Setelah mengambil alih kekuasaan di Kabul, ibu kota Afghanistan, Taliban mengaku pihaknya sudah berubah dan menyebutkan bahwa sekolah menengah atas untuk perempuan di beberapa provinsi sudah diperbolehkan beroperasi.
Tampaknya sebagai upaya untuk meyakinkan dunia bahwa pihaknya benar-benar sudah berubah sikap, Taliban pada awal Desember mengeluarkan dekret soal hak perempuan.
Dekret itu menyatakan bahwa perempuan tidak boleh dianggap sebagai "properti" dan harus dimintai persetujuan jika ingin dinikahi.
"Perempuan bukan properti, melainkan manusia yang mulia dan memiliki kebebasan; tidak ada yang boleh menyerahkan mereka kepada siapa pun sebagai imbalan untuk perdamaian... atau penghentian permusuhan," demikian bunyi dekret itu, yang dikeluarkan oleh juru bicara Taliban, Zabillah Muhajid.
Selain menyatakan bahwa perempuan tidak boleh dipaksa menikah, dekret juga menyebutkan bahwa janda harus mendapat bagian properti peninggalan almarhum suaminya.
Namun, ketetapan pemerintahan Taliban itu tidak menyinggung soal perempuan boleh bekerja atau memasuki fasilitas-fasilitas selain rumahnya.
Dekret juga tidak menyebut-nyebut hak perempuan untuk mendapatkan pendidikan. Masalah itu selama ini menjadi kekhawatiran utama masyarakat internasional.
Kendati demikian, dekret Taliban yang melarang pernikahan paksa itu merupakan suatu perubahan besar, setidaknya di mata dua perempuan terkemuka Afghanistan.