Perintah Pengadilan Tunda Pemilu Bertentangan dengan UUD 1945
jpnn.com - Keputusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang memerintahkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk menunda pelaksanaan Pemilu 2024 bertentangan dengan UUD 1945.
Hal tersebut dikemukakan Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini.
Dia mengatakan perintah konstitusi sangat tegas menetapkan agar pemilu dilaksanakan lima tahun sekali.
"Pemilu setiap lima tahun sekali adalah perintah konstitusi, sehingga putusan pengadilan jelas tidak bisa, bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945," ujar Titi kepada wartawan di Jakarta, Kamis (2/3).
Dia lantas menyebut isi dari Pasal 22E ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 yang mengatur bahwa pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, adil, dan setiap 5 tahun sekali.
PN Jakpus sebelumnya mengabulkan gugatan Partai Prima terhadap KPU untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilu 2024 dan melaksanakan tahapan pemilu dari awal selama kurang lebih 2 tahun 4 bulan 7 hari.
"Menghukum tergugat (KPU) untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilihan Umum 2024 sejak putusan ini diucapkan dan melaksanakan tahapan pemilihan umum dari awal selama lebih kurang 2 tahun 4 bulan 7 hari," ucap majelis hakim yang diketuai oleh Oyong, dikutip dari Putusan Nomor 757/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst, diakses dari Jakarta, Kamis.
Menurut Titi, putusan PN Jakpus dapat diartikan sebagai penundaan Pemilu 2024 itu merupakan pelanggaran terbuka terhadap amanat konstitusi.
"Selain itu, dalam sistem penegakan hukum pemilu, tidak dikenal mekanisme perdata melalui pengadilan negeri untuk menyelesaikan keberatan dalam pendaftaran dan verifikasi partai politik peserta pemilu."
"Saluran yang bisa ditempuh partai politik hanya melalui sengketa di Bawaslu dan selanjutnya upaya hukum untuk pertama dan terakhir kali di pengadilan tata usaha negara (PTUN)," ucapnya.
Titi menegaskan hal tersebut diatur dalam Pasal 470 dan 471 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu).
"Jadi, bukan kompetensi PN Jakpus untuk mengurusi masalah ini, apalagi sampai memerintahkan penundaan pemilu hingga 2025," kata Titi yang juga pengajar pemilu pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia. (Antara/jpnn).