Perjuangan agar Dolly Tidak Kembali
Oleh Dahlan IskanRabu sore lalu saya ke sana. Melewati jalan-jalan dan gang-gang yang dulu padat dengan toko kelamin. Di beberapa gang masih terdengar dentum musik yang keras. Dari rumah-rumah di kanan-kiri gang yang sempit. Itu pertanda rumah tersebut masih dipergunakan untuk usaha karaoke.
Bangunan sebelah dinding kiri pesantren Dolly ini juga masih mendentumkan musik. Demikian juga bangunan sebelah dinding kanan. Pesantren Dolly ini praktis dijepit oleh dua bangunan karaoke. Mereka bisa bertetangga dengan misi masing-masing.
Menjelang magrib, sirene dari pos penjagaan berbunyi. Itu pertanda semua karaoke harus mematikan musiknya. Selama orang salat magrib. Saya ikut berjamaah di taman pendidikan Alquran itu.
Bersama anak-anak usia TK dan SD. Setelah magrib, musik didentamkan lagi dengan kerasnya. Sirene seperti itu sudah ada sejak zaman kejayaan Dolly. Dan masih eksis meski Dolly sudah ditutup.
Saat menelusuri gang-gang sempit dengan penduduk yang padat itu, saya sering diminta mampir ke rumah warga. Salah satunya rumah yang dihuni mucikari yang sudah alih kerja.
Setelah tidak mengelola pelacur, dia mengelola taman bacaan untuk anak-anak. Dapat uang pembinaan dari Dinas Perpustakaan Kota Surabaya. Istrinya berjualan sosis goreng yang wajannya berada di pinggir gang.
Saya juga mampir ke rumah Pak Ridwan Tanro yang dulu menjadi salah satu ketua RT. Waktu Dolly masih jaya, Pak RT punya penghasilan besar. Dari setoran pengusaha kelamin.
Dan dari usaha sampingannya: dagang cairan pembersih lantai. Sebagai ketua RT, dia bisa memasarkan pembersih lantai buatannya sendiri dengan mudah: ke rumah-rumah bordil di wilayah RT-nya. Pakai teknik pemasaran injek kaki? Dia hanya tersenyum.