Perjuangan Mantan TKI yang jadi Wisudawan S-2 Terbaik
jpnn.com, SURABAYA - Winarsih adalah contoh nyata bahwa siapa yang mau berusaha, di sanalah jalan kesuksesan akan terbuka lebar. Dia harus menjadi TKI selama enam tahun, mengumpulkan uang, lalu kuliah S-1 yang dilanjutkan S-2 sekaligus.
Kisah hidupnya pilu. Pada 1998, ketika Indonesia bergolak, keluarganya mengalami persekusi. Saat itu memang bukan masa yang mudah bagi warga keturunan Tionghoa. ''Akhirnya, karena khawatir terhadap keselamatan, kami memutuskan pindah. Awalnya pindah ke Malang. Namun, karena masih merasa tidak aman, kami pun ikut program transmigrasi dari pemerintah. Kemudian, kami ditempatkan dan menetap di Bengkulu,'' kata Winarsih.
Orang tuanya kemudian bercocok tanam. Namun, karena dasarnya bukan petani, orang tuanya tidak mampu secara ekonomi. Untung, ada beasiswa yang memungkinkan Winarsih untuk menyelesaikan sekolah hingga SMA.
Tahu kondisi orang tuanya, Winarsih memutuskan merantau ke Jakarta. Mencari kerja. ''Jika di kampung terus, pasti tidak akan bisa berhasil,'' ucapnya. Hanya, dengan berbekal ijazah SMA, Winarsih tidak bisa mendapat upah layak. Paling banter Rp 1 juta per bulan. Alih-alih membantu biaya orang tuanya, untuk hidup sehari-hari di Jakarta saja sudah sulit.
Kemudian, ada seorang teman yang menyarankan untuk menjadi tenaga kerja Indonesia (TKI). Sebuah jalan instan mendapatkan upah layak, setidaknya untuk ukuran Indonesia. Namun, dia tetap saja tidak tenang. ''Saya tidak pernah punya kenalan seorang TKI, jadi tidak tahu nanti seperti apa. Apalagi banyak cerita TKI disiksa di luar negeri,'' ungkapnya.
Namun, desakan ekonomi tidak banyak memberinya pilihan. Dia memutuskan pergi ke Singapura pada 2006. Menjadi seorang asisten rumah tangga (ART). ''Kerjaannya ya kayak pembantu biasanya. Bersihkan rumah, ngepel, masak, mencuci, dan momong anak majikan,'' ungkap perempuan kelahiran 24 September 1988 tersebut.
Dia berangkat dengan skema klasik: dibiayai agen dulu, lalu selama enam bulan gajinya dipotong untuk biaya tersebut. ''Jadi, selama 6 bulan itu saya cuma terima gaji Rp 600 ribu. Itu pun dipotong biaya seperti sabun, sampo, atau apa pun keperluan pribadi saya yang harus beli sendiri. Tidak ditanggung majikan,'' tambahnya. Padahal, dia dapat gaji sekitar Rp 3 juta per bulan.
Keinginannya untuk bisa melanjutkan kuliah semakin kuat. Sampai-sampai dia tidak mengambil satu pun jatah libur tiap minggu. Terus begitu hingga tiga tahun. Setelah merasa terkumpul, dia pulang ke Bengkulu. Namun, uang tabungan itu tidak jadi untuk kuliah. Tidak tega dengan kondisi yang ada, dia memberikan semua penghasilan dan kerja rodinya di Singapura untuk keluarganya.
Dia kemudian memutuskan kembali menjadi TKI. Kali ini Hongkong menjadi negara sasarannya. Masih tetap menjadi ART, tetapi pendapatan yang diterima tiga kali lipatnya. Apalagi, Winarsih mendapat majikan yang baik. Selama tiga tahun dia bekerja dan berhemat. Hingga akhirnya pada 2012 dia merasa tabungannya sudah cukup.
Tahun itu dia memutuskan kembali ke Indonesia, kemudian mengambil program sarjana di UKWMS program International Business Management (IBM). Dia lulus dengan predikat cum laude. Namun bukan wisudawan terbaik. Penggemar tenis meja tersebut langsung melanjutkan sekolahnya ke magister bisnis. Kali ini kerja kerasnya terbayar. Selama satu setengah tahun studi S-2, kemarin dia dinobatkan menjadi wisudawan terbaik.
Kehidupannya perlahan membaik. Berbekal ilmu kuliahnya, dia juga membantu bisnis suaminya. Kini pendapatannya paling kecil belasan juta rupiah per bulan. Keluarganya pun sudah dibantu. ''Kalau bisa, saya ingin menjalani profesi di institusi keuangan gitu. Sesuai dengan passion saya,'' katanya ketika ditanya keinginannya yang belum terpenuhi. (didin/c15/ano)