Persekusi dan Kebebasan Berekspresi dengan Ujaran Benci
Oleh: Mohammad SobirinKebebasan berekspresi mengharuskan perwujudannya secara bertanggungjawab. Rasa bertanggung jawab ini melekat pada kebebasan itu sendiri.
“Ekspresikanlah kebenaran itu”, begitu kira-kira sabda Nabi panutan umat Islam.
Namun pada kesempatan yang lain, beliau memberikan penegasan mengenai tanggung jawab dalam berujar,
“Barang siapa (yang mendakwakan dirinya) beriman kepada Allah dan Hari Akhir maka hendaklah dia berkata (berekspresi) yang baik dan atau dengan cara baik, jika tidak bisa maka hendaklah diam tidak berujar”. “Baik” dalam hadis ini bermakna universal karena menggunakan diksi “khairan”.
Artinya harus bisa diterima oleh semua pihak, termasuk keniscayaan sejalan dengan Konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Hak Asasi Manusia Universal. Karena dalam kebebasan berekspresi terdapat hak orang lain untuk tidak dinista dengan berbagai bentuk penistaan.
Islam mendorong kebebasan berekspresi lewat ujaran yang benar sekaligus baik (Qaulan Sadida), arif nan bijak (bil hikmah), dan benar disertai rasa kasih sayang (bil haqqi wal marhamah), bukan sebaliknya.
Dengan demikian, kebebasan berekspresi bagi seorang yang beragama akan mendorongnya untuk melahirkan ekspresi-ekspresi atau ujaran-ujaran yang santun.
Kebebasan berekspresi tidak lagi tampak sebagai kebencian berekspresi, kemarahan berekspresi, bahkan kebengisan berekspresi, namun tampil sebagai kesantunan berekspresi.