Persekusi dan Kebebasan Berekspresi dengan Ujaran Benci
Oleh: Mohammad Sobirinjpnn.com, SEMARANG - Fenomena persekusi saat ini menjadi headline diberbagai media. Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) mencatat, “perburuan” semacam ini mengalami tren meningkat sejak 27 Januari hingga 31 Mei 2017.
Tindakan intimidatif ini makin kesini makin ramai dilakukan sekelompok warga terhadap orang yang dianggap telah menghina atau menista pemimpin dan kelompoknya.
Kekecewaan tersebut bergerak menjelma menjadi sebuah tindakan main hukum sendiri tatkala tersulut oleh ujaran seorang bocah berusia 15 tahun yang dirasa menista tokoh panutan mereka.
Persekusi yang dialami oleh seorang dokter perempuan di Solok Sumatera Barat lantaran menggunggah pernyataan bernada miring terhadap pimpinan ormas tertentu di akun facebooknya adalah fakta tindakan memburu dan mengintimidasi yang telah menjadi perbincangan nasional berikutnya.
Kebebasan berekspresi merupakan bagian terpenting Hak Asasi Manusia. Keberadaannya sangat strategis dalam menompang jalan dan bekerjanya demokrasi.
Sulit membayangkan sistem demokrasi bisa bekerja tanpa adanya kebebasan menyatakan pendapat, sikap, dan berekspresi. Konstitusi kita; UUD 1945, Amandemen ke II, secara terang menjamin kebebasan berekspresi. Pasal 28E (ayat 2) menyatakan,
“setiap orang berhak atas kebebasan menyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.”
Pada ayat berikutnya (3) ditegaskan kembali bahwa, “setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat.”