Petani Garam Meradang, Gemerincing Ringgit Lebih Menggiurkan
Saat jaya dulu, di kompleks pabrik, hilir mudik para pekerja. Di pekerjaan hulu, para pekerja berlomba untuk memproses pembuatan garam mulai dari pencucian, pengeringan, hingga iodisasi atau menambahkan zat yodium.
Di bagian hilir, pekerja lainnya juga sibuk dengan pengemasan, lalu mengepak garam dalam kardus-kardus aneka ukuran sebelum akhirnya garam didistribusikan. Dan bagian distribusi itulah yang menjadi tugas dan tanggung jawab Hambali. Dati tangannya, garam Tanjung Karya sampai di meja makan para konsumen.
Seluruh pekerja di pabrik garam Tanjung Karya adalah warga sekitar. Hambali tak akan lupa, betapa hidup mereka kala itu sungguh makmur. Bayangkan. Zaman itu, dalam sehari, para pekerja di sana bisa mendulang penghasilan antara Rp 60 ribu hingga Rp 70 ribu.
“Bagaimana tidak senang hidup kami,” kata Hambali.
Sebab, pada saat yang sama, Indonesia kala itu dibekap krisis moneter. Nyari pekerjaan susah bukan main. Malah, yang sudah bekerja pun kena PHK. Diberhentikan dan diberi pesangon tak seberapa.
Maskum, pemuda setempat juga membenarkan penuturan Kakek Hambali. Kata Maskum, selama pabrik beroperasi kala itu, tidak ada pemuda yang menganggur. ”Ramai banget. Banyak truk-truk garam dari Bima ke sini,” kenangnya.
Dengan bekerja di pabrik garam itulah, warga Kedome mengetahui cara menghasilkan garam beryodium berkualitas. ”Kalau ada yang mau buka pabrik lagi, kami semua di sini masih ingat caranya membuat garam yang bagus,” kata Hambali.
Sayangnya, kebahagiaan warga di Kodeme tak berumur lama. Pabrik yang sedang mekar, justru dirundung masalah. Lahan seluas 25 are yang digunakan pemerintah untuk membangun pabrik adalah milik almarhum Daeng Sumile. Belum genap lima tahun pabrik beroperasi, Daeng Sumile meninggal dunia. Lalu para ahli warisnya tidak melanjutkan kerja sama pemantaatan lahan. Pabrik pun harus tutup.