Petani Garam Meradang, Gemerincing Ringgit Lebih Menggiurkan
Pantauan Lombok Post, garam kasar di Kebon Roek dijual ke pembeli rata-rata Rp 6 ribu per kilogram. Sementara garam halus Rp 12.500 per kilogram.
Dan karena bahan baku yang langka itu pula, maka banyak kolega Eli yang akhirnya memilih tidak berjualan. Mereka sulit mengatur harga. Sementara bahan baku juga susah didapat.
Eli sendiri mengatur siasat. Caranya, garam tidak lagi dijual dengan ukuran kilogram. Namun dipecah-pecah dalam kantong plastik dengan harga Rp 3.000, Rp 5.000 dan Rp 10.000. “Kalau tidak begini, lakunya pasti lama,” tandas dia.
Kelangkaan bahan baku diakui para petani garam rakyat di Desa Pijot, Keruak, Lombok Timur. Di sana bahkan kini hanya tersisa satu industri garam rakyat yang masih beroperasi dari semula empat industri. Padahal, satu industri garam rakyat dengan pengolahan tradisional saja, investasinya biasanya bisa mencapai Rp 60 juta. Alhasil, karena bahan baku susah, harga pun dinaikkan.
Di Lombok Barat pun sama. Salah satunya di Desa Cemara, Kecamatan Lembar. Di salah satu kawasan sentra pengolahan garam rakyat ini pun banyak pengolahan yang kini memilih berhenti beroperasi.
"Mau bagaimana lagi. Kami juga kesulitan mendapatkan bahan untuk membuat garam," aku Inaq Saheam, 40 tahun, salah satu petani pembuat dan pengolah garam di sana pada Lombok Post akhir pekan lalu.
Tadinya, warga biasanya membuat garam dengan mengandalkan lahan kering di dekat hutan bakau di sana. Lahan itu biasanya mengering manakala musim kemarau.
Namun, cuaca yang tidak menentu membuat tanah yang seharusnya kering, kini malah sebaliknya selalu tergenang. Sehingga saat air pasang, lahan tersebut kian penuh air. Dan saat surut, air tetap menggenang. Alhasil, tanah yang menjadi bahan baku garam pun tidak ada.