Piket Nol
Setelah pelajaran pendek tersebut, mulailah durian kedua dibelah: habis dalam sekejap. Pun yang ketiga dan seterusnya. Anak-anak muda memang tidak bisa diajak main halus.
Yang kumpul hari itu, Senin lalu, termasuk yang datang dari Samarinda, Makassar, Palembang, Banyumas, Tegal dan Bandung. Masing-masing bercerita tentang kelebihan durian di kampung mereka.
Saya pun bertanya: adakah di tempat kalian orang seperti Mas Yanto. Yang berani membuang pentil-pentil durian yang begitu banyak. Kok tidak dibiarkan saja pentil itu jadi buah durian yang besar.
"Tidak ada," jawab mereka bergantian. Umumnya, pemilik pohon durian merasa sayang pentil yang begitu banyak dirontokkan.
"Ada!" ujar Pak Akhiong yang juga punya kebun durian. Pak Akhiong bukan anggota DT. Ia tidak ikut hadir di Malang.
Pak Akhiong kirim WA ke sana -setengah mengoreksi Disway tentang keberanian Mas Yanto.
"Maaf saya sudah lama tidak berkomunikasi. Kemarin saya melihat YouTube Durian Traveller. Yang ada acara makan durian di Malang. Saya dengar bapak bicara begini: belum pernah ada pekebun di Indonesia yang berani membuang pentil atau buah durian sebesar bola tenis. Tentu itu tidak benar. Di Bangka, di kebun Jebus, Koba, maupun di Parit3 (Tupaicong) sudah dilakukan. Dari tahun 2018, 2019, hingga 2021. Pekebunnya membuang banyak buah. Disortir. Yang potensial saja dibiarkan membesar."
Terima kasih, Pak Akhiong. Kian lengkaplah informasi tentang pentil durian.