Politikus PDIP: Pelibatan TNI Berantas Terorisme Khianati Cita-Cita Reformasi
jpnn.com, JAKARTA - Anggota Komisi I DPR Charles Honoris tak sependapat dengan pelibatan TNI dalam pemberantasan terorisme dimasukkan ke dalam revisi Undang-undang Tindak Pidana Terorisme.
Wacana itu menurutnya bentuk pengkhianatan pada cita-cita reformasi. "Reformasi melahirkan banyak institusi baru termasuk UU Anti-Terorisme dengan model penegakan hukum. Kalau melenceng, bergeser dari penegakan hukum, maka kita mengkhianati amanat reformasi itu sendiri," kata Charles.
Politikus PDI Perjuangan itu mengaku bukan antiterhadap keterlibatan militer dalam upaya pemberantasan tindak pidana terorisme yang sedang digodok di DPR, tapi hanya ingin mendudukkan institusi pada porsinya.
"Anggota TNI itu dilatih dan dididik untuk perang serta untuk pertahanan negara. Sedangkan penegakan hukum dilakukan kepolisian, Densus 88," tegas dia.
Karena itu, kata Charles, agak lucu kalau prajurit TNI dijadikan penyidik, kemudian melakukan penangkapan dan melakukan penyidikan terhadap terduga teroris. "Ini akan menjadi suatu kecacatan hukum," ujarnya.
Di samping itu, menurut Charles, keinginan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang ingin melibatkan TNI dalam pemberantasan terorisme di RUU Anti-Terorisme, banyak disalahartikan. Dalam pandangannya, Jokowi ingin TNI dilibatkan dalam berantas teroris secara terbatas.
"Karena sebagai panglima tertinggi, saya yakin presiden memahami terkait aturan UU terkait dengan tupoksi TNI. Jadi menurut saya, statement Jokowi tentang pelibatan TNI lebih banyak disalahartikan," katanya.
Saat ini, tambahnya, mengacu pada UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, pelibatan TNI bisa dilakukan dalam upaya pemberantasan terorisme atas dasar keputusan politik negara dan tidak ada yang melarang atau menghalangi TNI ikut berantas terorisme asalkan ada keputusan politik negara.