Politisasi Kampus: Etika Akademik Versus Kepentingan Politik
jpnn.com, JAKARTA - Beberapa hari menjelang Pemilu 2024, isu mengenai politisasi kampus makin bermunculan di ruang publik.
Beberapa guru besar dari berbagai universitas di Indonesia baik perguruan tinggi negeri, seperti Universitas Gajah Mada (UGM) dan Universitas Hasanuddin (Unhas) maupun perguruan tinggi swasta seperti Untag, mengeklaim jika menjadi perwakilan institusinya masing-masing untuk menyuarakan petisi berisikan kritik terhadap demokrasi di era Presiden Joko Widodo.
Kendati demikian, pihak rektorat universitas justru mengatakan bahwa petisi yang berisikan kritik terhadap Jokowi tersebut, tidak mewakili kampus. Hal tersebut disampaikan rektotat UGM dan juga Unhas.
Sekretaris UGM Andi Sandi Antonius Tabusassa Tonralipu menjelaskan bahwa petisi Bulaksumur sama sekali tidak mewakili kampus.
“Kalau dari statemen, ya, ini bagian dari Universitas Gadjah Mada, tetapi, bukan berarti secara kelembagaan, ya, karena kalau secara kelembagaan ada proses tertentu yang harus dilewati,” kata Andi.
Hal yang sama juga disampaikan Rektor Unhas Prof Jamaluddin Jompa. Gerakan petisi yang disampaikan oleh guru besar tidak mewakili Unhas.
"Bukan persoalan pada isinya, tapi prosesnya. Kalau ada keputusan yang dibuat atas nama institusi, tentunya pasti ada prosesnya ada persetujuan dalam bingkai organisasinya," kata Prof Jamaluddin pada Sabtu (3/2).
Sementara itu, akademisi sekaligus dosen komunikasi politik dari Universitas Paramadina Dr Prabu Revolusi menilai bahwa gerakan petisi yang diinisiasi beberapa guru besar tidak elok karena terkesan mencampuradukan kampus dengan kepentingan politik.