Potong Kepala
Oleh: Dhimam Abror DjuraidGuillotine menjadi mesin pembunuh yang paling efektif dan mengerikan yang menjadi simbol kekerasan berdarah selama Revolusi Prancis 1789. Ribuan orang menjadi korban potong kepala selama revolusi yang berlangsung sepuluh tahun. Raja Louis XVI dan istrinya Marie Antoinette yang dikenal korup dan zalim mati dihukum potong leher dengan guillotine.
Namun, para aktivis revolusioner mempunyai dalil yang mengatakan bahwa revolusi akan memakan anaknya sendiri. Mereka yang menjadi inisiator revolusi berdarah akan menjadi korban kekerasan revolusi.
Itulah yang dialami oleh Robespiere, salah satu tokoh utama Revolusi Prancis, yang akhirnya harus mengalami nasib tragis mati dipancung oleh guillotine.
Narasi potong kepala yang mengerikan itu sekarang disuarakan oleh Jenderal Listyo Sigit, bukan dalam konteks revolusi fisik seperti Revolusi Prancis, tetapi dalam konteks revolusi mental di kalangan kepolisian. Kapolri rupanya gerah oleh serangkaian ulah indisipliner anak buahnya yang beberapa minggu terakhir ini menjadi viral nasional.
Kasus polisi yang melakukan bantingan smackdown terhadap mahasiswa yang melakukan demonstrasi di Tangerang menjadi sorotan nasional. Polisi menjadi sasaran kecaman luas secara nasional karena dianggap tidak profesional dalam menangani kasus demonstrasi.
Seorang Kapolsek di Sulawesi Selatan melakukan pencabulan seksual terhadap seorang wanita yang ayahnya menjadi tersangka sebuah kasus pidana. Sang Kapolsek meminta layanan seksual dari si wanita dengan janji akan membebaskan ayahnya dari jeratan pidana.
Mudah diduga bahwa jurus rayuan buaya darat yang dilancarkan Si Kapolsek adalah palsu belaka. Namun, si wanita sudah telanjur teperdaya.
Polisi mengayomi dan melindungi. Itulah tugas utama polisi. Namun, hal itu seolah menjadi jargon kosong yang hanya sekadar menjadi hiasan mobil patroli.