Prabowo Kunjungi Australia Untuk Bahas Perjanjian Keamanan yang Dianggap 'Paling Signifikan'
David Andrews, dari National Security College, mengatakan perjanjian baru ini "secara signifikan bisa meningkatkan kerja sama dan interoperabilitas bilateral", tapi secara fundamental, perjanjian ini tidak sehebat Perjanjian Keamanan tahun 1995 dan Perjanjian Lombok tahun 2006 di antara Australia dan Indonesia.
Dia mengatakan Perjanjian Keamanan tahun 1995 yang dibuat oleh Perdana Menteri Paul Keating, yang kemudian dibubarkan oleh Indonesia, lebih luas dibandingkan perjanjian baru, karena mencakup kewajiban bagi kedua belah pihak; jika mereka akan berkonsultasi bersama untuk menentukan tindakan yang akan mereka ambil untuk menanggapi ancaman eksternal.
"Menyederhanakan kerja sama pertahanan bilateral sangatlah penting, dan patut dirayakan sebagai pencapaian signifikan yang dicapai dalam waktu singkat," katanya.
"Tetapi ini tidak mengubah struktur fundamental hubungan dan kewajiban bersama kedua belah pihak, sehingga dapat dianggap sebagai 'perjanjian paling signifikan yang pernah dibuat oleh negara kita'."
Masalah hak asasi manusia
Indonesia membatalkan Perjanjian Kemanan tahun 1995.
Ketika itu sedang terjadi Krisis Timor, di mana Australia memimpin pasukan multinasional untuk memulihkan ketertiban di Timor Timur setelah milisi yang didukung pemerintah Indonesia melancarkan serangan pembunuhan dan teror yang menyebabkan ratusan orang tewas dan banyak orang terpaksa mengungsi.
Kelompok hak asasi manusia menuntut agar Australia meningkatkan tekanan terhadap Indonesia atas pembunuhan di luar proses hukum dan upaya penghilangan paksa di Papua Barat.
Mereka mengatakan Australia harus memastikan peralatan dan dukungan militer yang akan diberikan nantinya tidak memperburuk pelanggaran hak asasi manusia di provinsi Indonesia.