Praktisi Hukum: Koruptor Sebaiknya DIhukum Bersih-bersih di Monas
jpnn.com, JAKARTA - Praktisi hukum Alfons Loemau menilai tindakan korupsi di Indonesia sulit diberantas, karena sanksi penjara seberat-beratnya kepada para koruptor tidak akan memberikan efek jera.
Alfons kemudian menyinggung soal buku yang ditulis oleh pengacara kondang terpidana korupsi, Otto Cornelis (OC) Kaligis berjudul 'KPK Bukan Malaikat' yang diluncurkan pada tanggal 7 Desember 2019 kemarin di Lapas Sukamiskin, Bandung.
Buku itu mengungkap sejumlah dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh KPK dalam tugas penyelidikan, penyidikan dan penuntutan Tipikor, berdasarkan pengakuan narapidana kasus korupsi di Lapas Sukamiskin.
"Biasanya kan di dalam praktek-praktek penyidikan hingga sidang, kalau kita baca buku terakhir OC. Kaligis 'KPK Bukan Malaikat' itu agak menakutkan, bagaimana cerita-cerita orang-orang jadi di Sukamiskin itu malah bukan ada efek jera dan tobat, mereka hanya berpikir kapan selesai (jalani hukuman) dan pulang," ujar Alfons dalam diskusi bertajuk Pemimpin Baru KPK dan Masa Depan Pemberantasan Korupsi yang digelar Forum Lintas Hukum Indonesia di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Rabu (18/12).
Karena penjara tak memberikan efek jera, Alfons berharap, DPR, pemerintah dan semua stakeholder bisa duduk bersama untuk membuat aturan baru mengenai sanksi terhadap koruptor. Dalam hal ini, Alfons mengusulkan supaya koruptor dimiskinkan dan diberi sanksi sosial.
"Kenapa tidak dipikirkan (Pemerintah dan DPR) agar ke depan, selain hukuman itu untuk menyita harta kekayaan untuk kasih negara, juga diberi hukuman sosial. Dia (koruptor) sekian tahun tidak boleh punya rekening koran, tidak boleh menjabat ini itu, dan kasih hukuman sapu di Monas sekian tahun misalnya," tutur Alfons.
"Cukup masukan dua tiga bulan di penjara, setelah itu suruh saja dia (koruptor) kerja bakti di Monas, sapu sepanjang jalan tiap hari, biar anak cucunya lihat 'ini lho bapak kamu, kakek kamu yang dulu maling uang rakyat," jelas purnawirawan polisi berpangkat Kombes ini.