Presiden Sipil yang Pede, Paspampres Serem yang Gaul
Bedanya dengan di Indonesia, begitu ada pressure demonstran, cepat sekali mementahkan rancangan kebijakan public! Misalnya, soal harga BBM yang sudah dirancang naik harga pada bulan April 2012, akhirnya batal. Soal kesepakatan UMR ---upah minimal regional---, yang sudah diputuskan pengadilan pun bisa berubah, setelah demo. Taiwan sangat tegas dan tidak main tarik ulur.
Presiden Ma tergolong pemberani. Meskipun dia sadar, bahwa kemenangannya sebagai presiden terpilih kali kedua di pemilu 14 Januari 2012 itu tidak telak, persaingannya amat ketat. Hanya terpaut 5 persen saja. Ma Ying-jeou-Wu Den-yih (Partai KMT) memperoleh suara 51,6 persen, atau 6.891.139 suara. Rivalnya, Tsai Ing-wen dan Su Jia-chyuan dari Democratic Progressiver Party (DPP) 45,63 persen, atau 6.093.578 suara. Sisanya, 2,77 persen, atau 369.588 suara mengalir pada James Soong Chu-yu dan Lin Ruey-shiung. Jika dibandingkan dengan kemenangan Presiden SBY dengan Partai Demokratnya, di atas kertas, seharusnya Presiden SBY jauh lebih pede dan tidak perlu didikte oleh rival-rivalnya.
Terhadap demonstran, Presiden Ma tetap tidak ada ruang untuk bergerak ke istana atau Taipei Guest House. Semua akses menuju bangunan yang didesain oleh arsitek Jepang, Dougo Hukuda dan Ichiro Nomura itu ditutup total, dengan pagar besi berduri, dari radius 100 meter, dan dijaga ketat oleh polisi. Masuk akal juga, mereka tidak ingin kecolongan oleh ulah demonstran, karena ada lebih dari 230 tamu asing, 41 delegasi diplomatik, dari Kanada, Uni Eropa, Jepang, Singapore, Korea Selatan, Inggris, US, dan beberapa perwakilan lain.
Bahkan, hadir juga Presiden Paraguai, Fernando Lugo Mendez, Presiden Kiribati Anote Tong –kepulauan kecil di sebelah timur Papua, di Samudra Pasifik---, Presiden Marshal Islands Christoper Loeak, Presiden Nauruan Sprent Dabwido, Presiden Palauan JohnsonToribiong.