Program Ganjar-Mahfud Ini Dinilai Paling Realistis untuk Memutus Rantai Kemiskinan, Terukur
"Saya lulus tahun 2016 dari Fisipol UGM. Tidak berselang lama di tahun 2017 saya diterima bekerja sebagai wartawan di salah satu media nasional dengan gaji hampir Rp 7 juta / bulan. Cukup jauh di atas UMR Jakarta saat itu yang ada di angka Rp 3,3 juta / bulan,” tutur Aris.
Menjadi sarjana, kata Aris, membuka peluang setiap orang mendapatkan pekerjaan yang lebih baik. Ayahnya yang lulusan SMA hanya bekerja di bengkel dan sampai dia lulus kuliah, gajinya paling tinggi Rp 3 juta / bulan, (di bawah UMR Jakarta), maka dia perlu berutang sana sini untuk membiaya kuliah anaknya.
"Setelah saya jadi sarjana, dan mendapatkan pekerjaan yang layak, saya bisa berbagi ke orang tua, bahkan dengan pekerjaan saat ini sebagai peneliti bisa membantu membiayai sekolah dan kuliah adik. Menjadi sarjana benar-benar konkret dan terbukti mampu memutus mata rantai kemiskinan,” lanjut Aris.
Menurut Aris, dari segi anggaran dan sasaran, program 1 keluarga miskin 1 sarjana sangat realistis dan konkret. Dari segi anggaran misalnya, jika sasarannya keluarga miskin, saat ini ada sekitar 10 juta keluarga miskin yang tercatat oleh pemerintah sebagai penerima PKH.
Sementara itu, jumlah penerima KIP (Kartu Indonesia Pintar) Kuliah yang dikhususkan untuk keluarga miskin pada 2023 jumlahnya hanya 994,3 ribu mahasiswa (tidak sampai 1 juta mahasiswa). Dengan asumsi 10 juta keluarga miskin itu semuanya memiliki anak yang memenuhi syarat usia untuk kuliah, artinya pada 2023 negara hanya menyekolahkan tidak sampai 10 persen mahasiswa yang berasal dari keluarga miskin.
“Kita hitung-hitungan saja, kalau ada 10 juta mahasiswa dari keluarga miskin yang akan dibiayai negara sampai sarjana, biaya hidup per bulan Rp 1 jt/bulan x 12 bulan = Rp 12 jt/ tahun. Rp 12 juta per tahun dikali 10 juta mahasiswa, maka jumlah anggaran yang dibutuhkan sekitar Rp 120 triliun / tahun," kata Aris.
"Jumlah itu kalau kita tambahkan dengan biaya UKT Rp 8 juta / 2 semester (1 tahun) x 10 juta mahasiswa = Rp 80 triliun. Jadi, Rp 120 trilliun + 80 triliun = Rp 200 triliun total anggaran yang dibutuhkan negara untuk menyekolahkan minimal 1 anak (mahasiswa) dari seluruh keluarga miskin yang ada di Indonesia,” imbuhnya.
Jumlah anggaran tersebut dinilai Aris masih sangat realistis jika melihat alokasi APBN 2023 untuk pos pendidikan yang mencapai Rp 600 triliun. Dari jumlah itu, Rp 237,1 triliun adalah alokasi untuk beasiswa PIP (SD-SMA) dan KIP Kuliah, serta tunjangan guru non PNS.