Propinsi Tapanuli: Gugat Mindset Kolonial
Jumat, 13 Februari 2009 – 18:34 WIB
Syahdan, kota Medan yang berdiri pada 1 Juli 1590 dibangun penjajah Belanda demi kepentingan mereka. Faktor “kepentingan” itu masih berlangsung sampai sekarang walau pun tak lagi dimonopoli Belanda sendirian. Berbagai infrastruktur, seperti jalan, jembatan, bank, kereta api, pelabuhan laut dan udara dibangun demi bisnis kaum penjajah untuk mengangkut hasil bumi dan perkebunan kita ke benua-benua asing.
Sekarang pun idemdito saja. Kota-kota besar di Indonesia mau tidak mau “melayani” kota-kota besar dunia sebagai pasar yang empuk. Kirim ke Medan (atau Jakarta dan Surabaya), toh mengalir juga ke pelosok Indonesia. Kota besar diperlukan sebagai kolektor CPO, karet dan sebagainya dan mengirimkannya ke Eropa, AS dan lainnya. Logislah jika ibukota propinsi dibangun lebih mentereng dibanding daerah kabupaten dan kota.
Bolehkah kita sebut bahwa kota-kota besar telah berperan sebagai “mesin keruk” segenap surplus ekonomi dari hintherland (daerah belakang)? Bayangkan saja betapa kayanya importir karet di luar negeri dibanding eksportir karet di ibukota propinsi, apalagi jika dibandingkan dengan petani karet di pedesaan.