Psikolog Sebut Novanto Sulit Dipercaya, Begini Analisisnya
jpnn.com, JAKARTA - Psikolog dari Universitas Indonesia (UI) Rose Mini menilai pengakuan Setya Novanto di persidangan perkara e-KTP agak sulit untuk dipercaya. Dalam analisis Rose, bisa saja terdakwa korupsi e-KTP itu sedang tertekan oleh perkara yang menjeratnya sehingga mengarang cerita demi bebas atau setidaknya memperoleh keringanan hukuman.
“Biasanya, kalau orang dalam keadaan takut kan, bisa saja melakukan apa saja termasuk mengarang cerita, berbohong dan sebagainya,” kata Rose saat dihubungi di Jakarta, Senin, (26/3).
Lebih lanjut Rose mengatakan, Novanto yang secara psikologis sedang tertekan menjadi seperti pecandu narkoba yang akan melakukan apa saja demi mencapai keinginannya. Sebagai contoh, mantan ketua umum Golkar itu diduga merekayasa kecelakaan lalu lintas di kawasan Permata Hijau, Jakarta Selatan pada pertengahan November 2016.
Tak hanya itu, kata Rose, drama yang disuguhkan Novanto berlanjut dengan rekayasa tentang kondisi medisnya. “Karena ketakutan masuk penjara, membuat dia mengiyakan dan menghalalkan segala cara agar hal itu tidak sampai terjadi,” jelasnya.
Karena itu Rose menganggap keterangan Novanto di persidangan menjadi sulit dipercaya. Terlebih, mantan pria paling tampan di Surabaya itu juga tidak menunjukkan bukti atas pengakuannya selama ini.
“Soal keterangan itu tidak bisa begitu saja dipercaya, karena dia (Novanto) mampu untuk berbohong, mampu untuk berbuat apa saja. Kalau dia sampai melakukan hal yang tidak baik seperti ini, maka kemampuan dia untuk membedakan baik dan buruk dipertanyakan,” pungkasnya.
Sebelumnya, Novanto menyebut sejumlah nama di DPR periode 2009-2014 sebagai penerima uang e-KTP. Saat menjalani persidangan di Pengadilan Tipikor dengan agenda pemeriksaan terdakwa Kamis lalu (22/3), Novanto menyebut dua politikus PDI Perjuangan Puan Maharani dan Pramono Anung menerima uang masing-masing USD 500 ribu.
Novanto juga menyebut sesama politikus Golkar di DPR 2009-2014 sebagai penerima duit e-KTP. Yakni Chairuman Harahap dan Melchias Marcus Mekeng.