Putusan Praperadilan Tak Amputasi Wewenang KPK Jerat Novanto
Memang, sindir dia, pertimbangan ini cukup membingungkan sebab hukum pidana mengenal beberapa ketentuan dan teori yang secara langsung membuka peluang sebuah alat bukti digunakan pada lebih dari satu tersangka atau terdakwa.
Contohnya dalam konteks aturan penyertaaan yang diatur dalam Bab V KUHP maka satu alat bukti, misalnya saksi yang melihat suatu perbuatan pidana terjadi, dimungkinkan melihat lebih dari satu orang melakukan tindak pidana. Dalam praktik, apabila kasus diperiksa secara terpisah, maka seorang saksi yang merupakan bagian alat bukti sesuai pasal 184 KUHAP sah dijadikan alat bukti dalam dua pemeriksaan kasus tersebut.
"Hal ini berlaku untuk alat bukti lainnya seperti Surat, sepanjang bisa menerangkan keterkaitan dan membuktikan perbuatan pidana terjadi untuk memenuhi unsur delik," ungkap Supriyadi.
Dalam kasus korupsi yang sifatnya terorganisir, kata dia, maka terbuka peluang kemungkinan besar adanya penyertaan. "Menjadi mengherankan apabila alat bukti yang sama tidak dapat digunakan dalam kasus dengan terdakwa lain," ujarnya.
Lebih lanjut dia mengatakan mestinya hakim hanya menilai aspek formil dari alat bukti, bukan soal penilaian atas alat bukti itu. "Hal tersebut merupakan domain dan kewenangan dari pemeriksaan pokok perkara di ruang sidang," katanya.
Namun perlu digaris bawahi, hal-hal di atas tentu saja tidak terlepas dari belum adanya aturan yang komprehensif soal praperadilan. Meski Perma 4/2016 sudah hadir, belum mampu menutup celah yang masih banyak muncul.
Ada problem jangka waktu, dan hukum acara dalam praperadilan yang tidak jelas dan abu abu antara perdata dan pidana yang tentunya melahirkan situasi ketidakpastian hukum.
Atas dasar itu, ICJR mendorong agar pemerintah segera memperhatikan keadaan ini dengan mengambil langkah-langkah cepat dan responsif.