Rambut Putih
Oleh: Dahlan IskanTelex yang harus dikirim biasanya hanya satu atau dua kalimat pendek. Ini lima halaman folio.
Wanita itu seperti mau menyerah. Ia harus mengetik satu huruf, lihat naskah, satu huruf lagi, lihat naskah lagi. Mungkin tiga hari lagi pun telex itu belum akan terkirim. Padahal malam itu juga harus sampai meja redaksi di Surabaya.
Untungnya Presiden Amerika turun tangan, membantu saya. Sang presiden mampu meyakinkan operator telex itu. Presidennya sendiri sudah lama almarhum tetapi wajahnya masih sakti di atas lembaran warna kehijauan itu.
Akhirnya saya diizinkan masuk ruang telex. Juga diizinkan menyalin sendiri naskah itu di mesin telex. Satu jam selesai. Terkirim. Wanita itu minta: naskah saya jangan ditinggal di situ. Padahal seharusnya semua naskah telex tidak boleh dibawa.
Presiden Amerika memang sakti. Pun yang sudah lama meninggal dunia.
Rupanya dua orang yang datang malam-malam itu bagian dari pejuang Mujahidin. Setengah takut saya serahkan USD 200. Saya dapat sebungkus uang rubel. Banyak sekali. Saya tidak menghitungnya. Tidak mengerti. Saya takut. Saya hanya ingin dua orang itu cepat pergi.
Itu memang di akhir-akhir masa keruntuhan Soviet. Rupanya infiltrasi Mujahidin bisa sampai ke wilayah Soviet.
Setelah Soviet runtuh, Tashkent jadi ibu kota negara merdeka Uzbekistan.