Ratusan Hektare Sawah Kekeringan di Tanahdatar
Betapa tidak, dulu saat tahun 1970an, ketika dia masih kecil masyarakat mandi di sungai, di pincuran dan sumber-sumber air lainnya. Sejak bendungan Ngalau Pangian dibangun di tahun 1979, masyarakat bisa mandi di sumur atau bandar vertical.
“Sekarang, kami mandi di sungai lagi. Untuk mandi, kami harus jalan ratusan meter bahkan 2 kilometer ke sumber air. Ibu-ibu, bapak-bapak, mamak kemenakan, ipar besan sudah bercampur. Hilang raso pareso karena air tak ada,” jelasnya.
Dia menyesalkan lambannya pihak terkait menangani persoalan ini. Menurutnya, di kampungnya saat ini dibangun irigasi Batang Sinamar yang menghabiskan anggaran hingga Rp 270 miliar dan katanya bisa mengaliri 3.000 hektare sawah. Namun, untuk apa pembangunan itu ada, jika sawah bagian lainnya kekeringan.
Pantauan Padang Ekspres (Jawa Pos Group), untuk mandi, warga setempat berbondong-bondong ke sungai pada sore hari. Anak-anak, bapak-bapak, ibu-ibu, bujang dan gadis mandi bercampur dalam sungai. Mereka bergerombol dengan kendaraan roda dua dan mobil.
Bagi keluarga yang termasuk golongan menengah ke atas bisa membeli air dengan mobil tanki. Tak heran puluhan mobil tanki lansir bolak-balik dari sumber air untuk memenuhi kebutuhan air bersih di rumah-rumah warga.
Di sisi lain, sawah-sawah sudah rengkah karena tak dapat air. Sebagian sawah ada yang ditanami warga secara tadah hujan, ternyata hujan juga tak berlangsung lama, akibatnya sawah yang sudah ditanam tersebut juga mengalami kekeringan.
Selain itu, kolam-kolam ikan yang biasanya jadi sumber penghasilan tambahan warga tak berfungsi lagi.
Daerah Koto, hulu irigasi Batang Pangian dulunya adalah kawasan yang tak pernah putus mendapatkan air bersih. Sawah sejauh mata memandang, namun tak pernah kekeringan.