Rawan Penyadapan, Indonesia Butuh Pusat Intersepsi
Lebih lanjut Pratama menambahkan, liarnya penyadapan sudah diingatkan Snowden beberapa tahun terakhir. Perkembangan teknologi penyadapan berkembang pesat dan banyak pilihan.
"Seharusnya alat sadap hanya dijual ke pemerintah atau istilahnya government to government, tapi tidak menutup kemungkinan pihak non-state juga membeli lewat pasar gelap,” paparnya.
Pratama menjelaskan, semakin majunya teknologi, membuat penyadapan semakin mudah dilakukan. Menurut dia, penyadapan bisa dilakukan dengan dua metode, yaitu menggunakan perangkat taktis yang diterjunkan langsung di lapangan di sekitar target. Kemudian, dengan metode lawful intercept di mana penyadapan dilakukan di sisi perangkat operator.
Mantan pejabat Lembaga Sandi Negara ini mengatakan, perangkat taktis untuk menyadap akan menyamar menjadi sebuah BTS sesuai dengan operator seluler yang dimiliki oleh target. Sehingga ponsel target akan tersambung dengan perangkat taktis tersebut.
Setelah tersambung, tidak hanya bisa melakukan penyadapan. Namun, juga bisa melakukan kloning nomor telpon dari target. Bahkan juga bisa melakukan manipulasi informasi seperti mengirimkan SMS dan melakukan percakapan dari nomor target.
Berbeda dengan penyadapan taktis yang harus mendekati target. Penyadapan dengan menggunakan metode lawful interception lebih mudah karena tidak perlu mengikuti ke mana pun target bergerak.
"Karena pada lawful intercep, perangkat untuk melakukan penyadapan diletakkan langsung di dalam jaringan operator seluler sehingga bisa mendapatkan seluruh komunikasi yang terjadi,” jelas Chairman lembaga riset keamanan siber Communication and Information System Security Research Center ini.
Untuk mengatur lebih teknis terkait tindakan penyadapan yang dapat dipertanggungjawabkan, sudah waktunya Indonesia memiliki pusat intersepsi nasional yang kredibel.