Referendum Kedua Jadi Harapan Terbaik Inggris
jpnn.com, LONDON - Tanggal 29 Maret lalu seharusnya menjadi hari terakhir Inggris menjadi anggota Uni Eropa (UE). Tapi, perpisahan tak semudah angan-angan. Proses panjang negosiasi selama 2 tahun ditolak mentah-mentah oleh parlemen. Bukan satu dua kali, tapi tiga kali. Inggris akhirnya harus menunda perceraian dengan UE hingga 31 Oktober mendatang.
Sejak hasil referendum keluar dan keputusannya adalah meninggalkan UE alias Brexit, Inggris sudah bergolak. Masa depan negara tersebut terasa buram. Perusahaan dan bank-bank bersiap hengkang. Mereka yang sebelumnya mendukung perpisahan kini berpikir ulang.
Sebelum menyatakan mundur, Perdana Menteri (PM) Theresa May bahkan menawarkan untuk menggelar referendum kedua. Syaratnya, parlemen harus setuju lebih dulu dengan proposal kesepakatan yang dia bawa.
Kini, setelah May lepas tangan, kepastian Inggris keluar dengan selamat dari UE kian tipis. Sebab, jika Boris Johnson benar-benar menggantikan May, peluang yang paling besar adalah hengkang dari UE meski tanpa kesepakatan alias no deal Brexit.
"Pengunduran diri May tidak menyelesaikan apa pun. Penggantinya masih harus mencari tahu bagaimana caranya menegosiasikan keluarnya Inggris dari UE," terang David Phinnemore, profesor bidang politik Eropa di Queen's University Belfast.
BACA JUGA: Brexit Makin Rumit, Theresa May Bersiap Mundur
Phinnemore meyakini bahwa siapa pun pengganti May belum punya rencana mumpuni untuk menaklukkan parlemen dan membawa Brexit selangkah lebih maju. Hal senada diungkapkan profesor ilmu politik di Queen Mary University, London, Tim Bale. Menurut dia, pengganti May tidak akan mampu memengaruhi UE agar membuka kembali negosiasi.
Satu-satunya cara untuk mencegah no deal Brexit adalah menggelar referendum kedua. Itu bisa dilakukan jika sebagian anggota Partai Konservatif berpihak kepada Partai Buruh. (sha/c10/dos)