Close Banner Apps JPNN.com
JPNN.com App
Aplikasi Berita Terbaru dan Terpopuler
Dapatkan di Play Store atau Apps Store
Download Apps JPNN.com

Reforma Agraria Jalan Keluar dari Ketidakadilan Pembangunan

Senin, 24 September 2018 – 09:55 WIB
Reforma Agraria Jalan Keluar dari Ketidakadilan Pembangunan - JPNN.COM
Mantan wartawan dan calon anggota DPR RI Periode 2019-2024 dari Partai Demokrat Dapil 8 Jawa Timur, Jan Prince Permata. Foto: Dokpri for JPNN.com

Substansi UUPA adalah mengatur tentang kepemilikan dan pengelolaan tanah dan sumber-sumber agraria. UUPA, yang kerap disebut sebagai “anak kandung Pasal 33 UUD 1945” ini menyatakan bahwa seluruh rakyat Indonesia khususnya kaum tani dan masyarakat adat berhak untuk menguasai dan mengelola tanah untuk kesejahteraan rakyat. Presiden pertama RI, Soekarno menegaskan bahwa dengan lahirnya UUPA, rakyat tani dapat membebaskan diri dari bentuk penghisapan manusia atas manusia dengan alat tanah, sehingga melapangkan jalan menuju ke arah masyarakat adil dan makmur.

Namun, sejak diundangkan, Reforma Agraria belum sepenuhnya terlaksana karena berbagai kendala politik dan sosial. Selama pemerintahan Orde Baru, Reforma Agraria yang genuine (asli) tak menjadi concern dalam kebijakan pembangunan. Orde Baru menjalankan program transmigrasi yang oleh sebagian kalangan dinilai mirip dengan reforma agraria.

Setelah era reformasi, reforma Agraria kembali menggema. Di era pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur lahir TAP MPR No. IX tahun 2001 Tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Di era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono reforma agraria sempat diangkat dalam diskursus pembangunan dan difokuskan untuk untuk mengatasi kemiskinan dan mengurangi pengangguran. Melalui Pidatonya, Presiden SBY menyebutkan rencana besarnya yang terkait dengan reforma agraria, yakni redistribusi lahan dan sertifikasi tanah. Terdapat 8,12 hektar lahan terlantar yang dulu hendak dijadikan Presiden sebagai objek program pembaruan agraria nasional.

“Inilah yang saya sebut sebagai prinsip tanah untuk keadilan dan kesejahteraan,” kata SBY. Program sertifikasi lahan dan redistrubusi aset juga berlangsung di era SBY, walaupun oleh beberapa kalangan dinilai belum signifikan. Namun tekad dan upaya untuk menjalankan reforma agraria terlihat di era ini.

Pemerintahan Presiden Jokowi juga mengangkat tema reforma agraria. Janji reforma agraria pemerintahan Jokowi tersurat disebutkan dalam poin kelima program nawa cita. Disebutkan bahwa: Meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia melalui peningkatan kualitas pendidikan dan pelatihan dengan program “Indonesia Pintar”; serta peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan program "Indonesia Kerja" dan "Indonesia Sejahtera" dengan mendorong land reform dan program kepemilikan tanah seluas 9 hektar, program rumah kampung deret atau rumah susun murah yang disubsidi serta jaminan sosial untuk rakyat di tahun 2019.

Konsorsium Pembaruan Agaria menyebutkan bahwa sembilan juta hektar lahan yang diproyeksikan dari Tanah Obyek Reforma Agraria (TORA) di era Jokowi ini bersumber dari kawasan hutan seluas 4,1 juta hektare. Sisanya, lahan berasal dari Hak Guna Usaha (HGU) habis, atau tanah terlantar seluas 0,4 juta hektare dan legalisasi aset seluas 4,5 juta hektare.

Dari sisi konsepsi reforma agraria didefinisikan sebagai land reform plus access reform. Land reform adalah redistribusi aset atau pembagian tanah kepada rakyat (miskin). Access Reform merupakan pembukaan akses ke sumber daya alam, keuangan/modal, teknologi, pasar barang dan tenaga kerja, dan juga distribusi kekuatan politik (dukungan APBN/APBD).

Reforma agraria pada prinsipnya selalu dimaksudkan untuk mengatasi persoalan sosial ekonomi pedesaan yang terkait dengan penguasaan tanah dan sumber daya alam. Restrukturisasi penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah dan kekayaan alam adalah unsur penting dari program reforma agraria. Tujuannya, agar tidak terjadi konsentrai penguasaan dan pemaafaatan tanah dan kekayaa alam, memastikan hak rakyat atas tanah dan kekayaan alam serta menjamin keberlangsungan dan kemajuan sistem produksi rakyat setempat (Noer Fauzi;2003).

Gini ratio penguasaan tanah di Indonesia mendekati angka 0,58. Artinya, hanya sekitar 1 persen penduduk yang menguasai 59 persen luas tanah di Indonesia.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

X Close