Close Banner Apps JPNN.com
JPNN.com App
Aplikasi Berita Terbaru dan Terpopuler
Dapatkan di Play Store atau Apps Store
Download Apps JPNN.com

Rektor

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Kamis, 22 Juli 2021 – 07:16 WIB
Rektor - JPNN.COM
Ilustrasi UI. Foto: Universitas Indonesia

Kampus dan kekuasaan adalah dua entitas yang berbeda. Seorang intelektual kampus tidak seharusnya menjadi bagian dari kekuasaan. Sebaliknya, kekuasaan harus membiarkan kampus bebas menjalankan perannya sebagai suara kebenaran.

Intelektual kampus yang tidak menjalankan fungsi pencerahan—apalagi menyeberang menjadi bagian dari kekuasaan—dianggap telah melakukan pengkhianatan.

Intelektual kampus yang kerjanya hanya nongkrong di menara gading, asyik dengan dirinya sendiri, tanpa peduli terhadap kondisi rakyat, adalah intelektual tradisional yang terpisah dari rakyat.

Seorang intelektual harus organik, menyatu dan turun ke bawah membela kepentingan rakyat yang tertindas oleh kekuasaan. Itulah intelektual ideal, yang oleh Antonio Gramsci disebut sebagai intelektual organik.

Intelektual adalah makhluk yang tercerahkan. Rausyan Fikri, kata intelektual Syiah dari Iran Dr. Ali Shariati. Intelektual yang tercerahkan adalah mereka yang mendapatkan pencerahan dari ilmunya, dan kemudian memanfaatkan ilmu pencerahannya untuk terjun membela rakyat.

Intetektual yang ongkang-ongkang di kampus, dan asyik menjadi pembela kekuasaan, adalah intelektual yang tersesat dalam gelap.

Ilmuwan Prancis, Julien Benda dengan tegas menyebut para intelektual menara gading itu sebagai pengkhianat. Benda dalam ‘’La Trahison des Clercs’’ (1997) membagi masyarakat ke dalam dua kategori.

Pertama, cendekiawan atau intelektual yang mendedikasikan hidupnya untuk mencari kebenaran. Kedua, kaum awam yang seluruh hidupnya terikat kepada fungsi mengejar kepentingan materi dan duniawi.

Lebih baik mati menghirup gas beracun, daripada kebebasannya mati karena menghirup racun kekuasaan

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

BERITA LAINNYA
X Close