Rencana Tata Ruang, Instrumen Strategis Cipta Kerja
Oleh: Anton Doni DihenCapaian terbatas pada tahun 2020 tersebut bahkan terjadi setelah Permen ATR Nomor 16 Tahun 2018 menetapkan pula percepatan prosesnya, dari yang semula membutuhkan waktu 24 bulan menjadi hanya 6 bulan.
Fakta demikian tentu mengisyaratkan bahwa dokumen RDTR, apalagi dilengkapi dengan KLHS, bukan merupakan dokumen yang mudah dihasilkan.
Ada alasan teknis seperti ketersediaan peta dengan skala 1:5.000, tetapi ini tentu bukan alasan yang utama. Dengan kemajuan teknologi yang ada, kendala peta mestinya bisa teratasi.
Mengapa proses membuat RDTR menjadi sulit? Apa saja persoalan yang menghambat proses pembuatannya? Kita membutuhkan diskusi dan penelusuran untuk mengidentifikasi hambatan-hambatan tersebut.
Sebagai posisi awal, dapat dikemukakan bahwa salah satu di antara hambatan tersebut adalah cara pandang kita dalam melihat rencana tata ruang.
Yakni, ketika kita melihat rencana tata ruang hanya sebagai proses "science", bahkan proses teknis administratif, yang membawa kita secara total pada upaya untuk melengkapi data dan melakukan analisis berdasarkan pedoman yang sudah dibuat baku melalui peraturan perundang-undangan.
Proses dengan totalitas fokus seperti itu membatasi kita untuk berdialog secara kreatif dengan data dan informasi, dengan tantangan dan persoalan, dengan potensi dan kekuatan, yang merupakan proses "envisioning" yang diperlukan dalam proses penyusunan rencana detail tata ruang.
Rencana Tata Ruang adalah kerja kreatif. Kerja "art". Atau lebih realistiknya, "science plus art". Dia melibatkan proses kreatif dalam berdialog dengan data dan informasi. Yang menghasilkan sekian rancangan tujuan dan konsep perencanaan yang bolak-balik diuji kembali dengan data, informasi, dan analisis. Yang berujung pada dihasilkannya visi serta tujuan tata ruang yang mampu menjawab tantangan-tantangan utama suatu daerah atau suatu satuan wilayah perencanaan secara cerdas dan kreatif.