Reputasi Kita dari Musibah
Oleh: Rhenald Kasali*Ketiga, kita masih harus terus melakukan investasi besar-besaran, baik untuk membeli maupun mengembangkan teknologi guna mencegah, menemukan, dan melakukan evakuasi dalam aneka bencana. Kalau kita mau, tak akan lagi ada cerita keputusan untuk lintas di atas sebagian kawasan udara kita diatur air traffic controller dari Singapura. Ini masih terjadi karena investasi kita masih kurang, reputasi kita juga belum dibangun. Padahal, kalau dibangun, kita bisa buat sekolah penanggulangan bencana terbaik dunia yang bisa mendatangkan devisa besar-besaran.
Kita tentu tak pernah menghendaki datangnya bencana. Tapi, siapa yang sanggup menolak jika bencana itu akhirnya datang juga? Maka, penting bagi kita memiliki mindset ala John D. Rockefeller, ”I always tried to turn every disaster into an opportunity.” Artinya, kalau reputasi kita dalam menangani bencana buruk, reputasi terhadap segala kualitas buatan kita dianggap setara dengan keburukan penanganan bencana itu.
Insinyur- insinyur kita akan dihargai murah di pasar tenaga kerja dunia, demikian juga Indonesia brand. Kita bisa memutar baliknya dengan upaya serius dalam penanganan bencana karena ia selalu menjadi perhatian dunia yang penontonnya jauh lebih tinggi dari sekadar menjadi tuan rumah Olimpiade atau perebutan Piala Dunia.
Lalu, yang tak kalah penting adalah kita harus segera bangkit. Kata Kathie Lee Gifford, seorang musisi dan penulis lagu, ”If I could learn to treat triumph and disaster the same, then I would find bliss.” Bukankah selalu ada berkah di balik musibah! (***)
*) Penulis adalah akademisi, praktisi bisnis dan guru besar bidang ilmu manajemen di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.