Reuni
Oleh: Dhimam Abror DjuraidPada masa Orde Baru di bawah Soeharto kekuatan politik Islam sejak awal tidak diberi ruang gerak, dan partai-partai Islam tidak diizinkan untuk berdiri kembali. Sepanjang masa kekuasaan Soeharto Islam politik mengalami represi yang lebih keras dibanding pada masa Soekarno.
Era reformasi yang ditandai dengan kejatuhan Soeharto membuat persaingan kubu agamis dan nasionalis memperoleh ruang yang lebih terbuka. Pada masa-masa awal reformasi persaingan dua kubu relatif berjalan lebih bebas tanpa represi.
Puncak persaingan paling panas terjadi pada pilgub DKI 2017 dan pilpres 2019 yang kemudian seolah menghidupkan kembali pola persaingan di masa Orde Lama. Aspirasi politik Islam tumbuh makin kuat dan hal ini menimbulkan kekhawatiran pada kubu kelompok nasionalis yang melihat potensi kemunculan radikalisme agama.
Rezim Jokowi menjadikan perang melawan radikalisme Islam sebagai prioritas penting. Pendekatan yang dilakukan lebih cenderung represif dengan pemenjaraan dan pembubaran seperti era Orde Lama.
Logika yang dipakai adalah ‘’the logic of accumulation and exclusion’’. Kekuatan-kekuatan politik yang kompromistis dikooptasi dan diakumulasi dalam koalisi, dan kekuatan oposisi akan dieksklusi dan bila perlu dianihilasi atau dihilangkan.
Pendekatan semacam itu mungkin saja bisa efektif, tetapi tidak bisa langgeng. Rezim yang berkuasa dengan memakai kekerasan akan melahirkan dendam sejarah yang setiap saat bisa meledak menjadi kekacauan.
Berbagai fenomena yang terjadi belakangan ini menimbulkan kekhawatiran bahwa Indonesia belum menjadi negara yang paripurna. Seperti yang dikatakan Yudi Latief, Pancasila adalah produk politik yang seharusnya menjadikan Indonesia sebagai negara paripurna.
Pancasila adalah kompromi politik terbaik, yang dihasilkan dari permenungan dan perdebatan yang sangat intens yang kemudian melahirkan rumusan yang dianggap paling tepat untuk menjadi dasar negara Indonesia yang majemuk.